Burung bertengger manis di dahan pohon saat
aku menyusuri jalan menuju gedung T4. Setelah menjalani PKKMB akhirnya aku
masuk kuliah untuk pertama kalinya. Aku merasa sangat senang dan bersemangat. Terlihat
seseorang duduk pada anak tangga lantai tiga. Aku tersentak hingga langsung
menghampirinya dan berteriak padanya.
“Reza …! Kenapa
kamu ada di sini?”
Reza tidak mempedulikanku. Ia tetap
fokus pada buku yang ia pegang.
“Hai! Denger aku nggak sih. Kamu kan bukan
anak JBSI. Ngapain kamu di sini? Aku sangat muak denganmu!”
Reza mulai bergerak. Namun, hal itu
malah membuatku sedikit gugup dan malu. Tanpa kusadari beberapa orang menatap
kami berdua dengan tatapan aneh.
“Hai, Rangking
Dua. Apa kabar?”
“Jangan
memanggilku Rangking Dua!”jawabku cepat.
“Haha, sebulan
nggak ketemu ternyata kamu banyak berubah ya. Tapi aku yakin kalau kamu tetap
belum bisa mengalahkanku.”
“Diam, Reza! Aku
pasti akan mengalahkanmu. Lihat saja nanti.”ujarku bersemangat.
“Haha, sayang
sekali kita tidak dapat bersaing lagi.”jawab Reza sambil memasang senyum
terbaiknya
“Hah, apa
maksudmu?”
Reza beranjak dari tangga dan
menghampiri sekelompok temannya. Aku terdiam, mencoba mengingat semua
kenanganku bersama Reza. Mulai dari kompetisi nilai ulangan, kompetisi lomba di
sekolah, sampai kompetisi merebut perhatian guru. Namun, lamunanku hilang saat
terdengar teriakan panik dari teman-teman Reza.
“Bintang, Reza
pingsan!”teriak Galih, sahabatku dan Reza di SMA.
“Aku nggak bisa ikut
ke rumah sakit. Aku ada kelas sebentar lagi. Maaf, lagian kenapa sih, Reza kan
tadi sehat-sehat aja. Pakai sok pingsan lagi sekarang.”gerutuku tanpa alasan.
Galih yang mendengarnya langsung terdiam cukup lama di depanku.
“Bintang! Reza itu
orang pertama yang selalu ada buat kamu. Dia tahu kalau kamu yatim piatu. Dia
tahu kalau kamu butuh seseorang sebagai sandaran. Dia selalu membuatmu
bersemangat untuk berkompetisi. Dia juga diam-diam memberi hadiah di setiap
ulang tahunmu. Dia mengupayakan semua agar kamu nggak kesepian dan senantiasa
bahagia. Meski dia terlihat nggak peduli dan meremehkanmu. Tetapi, Reza selalu
membelamu dan ada di belakangmu saat kamu sendirian. Reza sedang sekarat
sekarang. dia bukan hanya pingsan. Tetapi dia pendarahan di otak. Dia sakit
kanker otak, Bintang. Kamu harus tahu itu.”jelas Galih sembari menitikkan air
mata kesedihan.
Hatiku sakit, seakan ribuan jarum
menusuknya hingga penuh luka. Reza yang kukenal sejak kecil ternyata memiliki
sisi yang tidak kuketahui. aku merasa bodoh dan tidak tahu diri. Aku langsung
berlari menyusuri tangga dan meluncur menuju rumah sakit dengan motor
kesayanganku. Pikiranku kacau, dan di otakku hanya ada wajah Reza yang
tersenyum penuh kehangatan. Hingga sampai di sebuah pertigaan motorku tertabrak
oleh mobil kijang yang melintas berlawanan arah, aku terlompat dari motorku dan
kepalaku terbentur pohon besar di sisi jalan. Setelah itu aku tak tahu apa yang
terjadi. Hanya gelap dan suara lirih terdengar di telingaku.
Kubuka album kenangan saat SMA.
Terlihat sepasang anak muda yang tertawa bersama sambil menggenggam tropi kemenangan
dengan penuh kebanggaan. Kulihat raut wajah kedua sahabatku dengan penuh suka
cita. Pikiranku seakan kembali pada masa itu. Saat Aku, Reza dan Bintang
menjadi tim terhebat di lomba cerdas cermat MIPA tingkat provinsi. Kami sangat
bahagia dengan hasil kerja keras kami. Reza dengan kelakuan jailnya masih mampu
menyita perhatian Bintang. Sekarang mereka bahagia di dunia lain. Reza
meninggal karena kanker otak dan Bintang meninggal karena kecelakaan. Mereka
meninggal di hari yang sama. Mungkin inilah yang disebut dengan takdir. Takdir
untuk cinta dan kebahagiaan abadi.
By Nur Asiyah (PB 2013)