Rabu, 12 Februari 2014

Cerpen-Cinta Pandangan Pertama



Cinta Pandangan Pertama

                Tangan mungil itu meraba. Tangan indah itu mencoba menyelami sebuah bunga. Bunga mawar merah yang sangat berbahaya untuknya. Namun, ia tetap dengan suka cita memberi cahaya pada bunga itu. Sebuah siraman dan satu sekop pupuk kandang ia tuangkan padanya. Aku hanya dapat tersenyum dan menghampiri wanita itu.
“Selamat pagi, nona.”
“Selamat pagi, Dani. Apa kabarmu hari ini?”ucapnya sembari tersenyum padaku.
“Kabar baik, nona. Maaf, hari ini nona belum sarapan. Silakan menuju ruang makan, karena ibu saya sudah menyiapkan makanan untuk nona.”
“Dani, aku tidak mau sarapan. Hari ini kan hari libur. Aku ingin di sini lebih lama untuk merawat bunga-bungaku.”ucap nona Nica, dan aku tersenyum.
“Dani, bisakah kau membantuku untuk menyiram dan memberi pupuk bunga-bungaku yang indah ini?”ucap nona Nica dengan riang.
“Tentu, nona. Tentu.”
                Aku adalah anak dari pembantu satu-satunya di rumah ini. Sejak umur sepuluh  tahun aku tinggal di rumah ini bersama ibuku. Tugasku di sini adalah menemani dan melindungi nona tunggal di rumah ini, nona Nica. Berkat kebaikan orang tua nona Nica, aku dan nona Nica di sekolahkan di SMA yang sama. Janjiku pada diriku sendiri. aku akan segenap hati menjalani semua ini dengan satu kata yaitu, tulus.
                                                                                                QQQQQ
                Saat aku memasuki kelas bersama nona Nica semua siswa terlihat gaduh dan berbisik-bisik ria. Setelah aku mendudukkan nona Nica di sebelah sahabatnya, Bella, aku segera duduk di tempatku. Sejenak kupandang nona Nica dan Bella secara bergantian. Mereka terlihat asik dengan percakapan mereka. Segera kuaktifkan perekam microku yang aku tempel di seragam nona Nica, dan kudengarkan percakapan mereka melalui headset kesayanganku.
“Nica, aku sangat senang hari ini. Pagi ini aku tidak sengaja bertabrakan dengan seorang yang sangat tampan dan menawan, dia seperti malaikat. Aku sampai ternganga melihatnya. Saat dia tersenyum, dia sangat manis dan imut. Ya ampun, aku terasa meleleh dibuatnya. Mungkin dia murid baru yang akan masuk di kelas kita. Lihat saja nanti, dia sama tampannya dengan Dani loh.”cerita Bella panjang lebar.
“Benarkah? Ya, mungkin kamu akan bertemu dengan dia lagi nanti.”ucap Nica sembari tersenyum.
                Kumatikan perekam microku dan kumasukkan headsetku ke dalam tas. Pikiranku melayang, kesal dan sedih bercampur dalam benakku. Namun, aku segera  fokus pada kelas saat seorang guru datang.
“Selamat pagi, anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru. Silakan perkenalkan diri kamu.”
                Terlihat murid baru itu tersenyum dan memandang seluruh ruang kelas.
“Hai, namaku Deny. Aku pindahan dari kota Surabaya. Aku belum kenal siapapun di sini. Jadi, aku mohon uluran tangan kalian untuk berteman denganku.”
                Seluruh siswa putri tersenyum dan mulai berbisik-bisik, kecuali nona Nica. Terlihat Bella sangat bahagia dan menepuk nepuk pundak nona Nica tanpa alasan.
“Baiklah. Deny kamu duduk di sebelah sana. Ya, di dekat Dani.”ucap pak Agas, guru Biologi kami.
“Wah, dua cowok ganteng di kelas kita duduk dalam satu bangku.”ujar Bella sembari tersenyum. Aku terdiam mendengar ucapan Bella. Namun, Deny dengan senyum manisnya memandangi Bella yang salah tingkah.
                Aku dan Deny berjabat tangan dan memulai sebuah pertemanan. Seluruh siswi terlihat sangat iri padaku. Namun, aku terlihat biasa dengan itu semua dan mulai fokus dengan pelajaran yang ada.
                                                                                                QQQQQ
                Angin berhembus dengan manis, tanpa penuh amarah untuk merobohkan bunga itu, dan tidak bermaksud untuk bersikap dingin pada bunga itu. Cukup membuat bunga itu tersenyum dan menari anggun di dalamnya sudah membuat angin dan bunga itu bersatu. Terlihat nona Nica duduk di bangku taman di sisi sebuah tiang lampu yang tegar. Dengan tenang kudekati dia dan kupandang dia lekat-lekat.
“Kaukah, Dani?”
“Ya, nona. Ini aku.”
“Duduklah. Malam ini angin berhembus sangat mesra pada bunga-bungaku. Iya kan?”
“Iya, nona. Tapi tidakkah nona merasa dingin? Mari aku antar menuju rumah.”
“Tidak, Dani. Aku ingin di sini lebih lama. Oh iya, Dani. Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?”
“Silakan, nona.”
“Bagaimana rasanya cinta pandangan pertama? Apakah seindah perasaan Bella pada Deny saat ini? Ataukah bisa lebih dari itu? Ceritakanlah padaku.”
“Mengapa nona bertanya tentang itu?”
“Aku tidak bisa melihat. Wajar kan jika aku bertanya tentang hal itu. Aku buta, dan aku tidak bisa melihat, tidak bisa memandang. Lalu bagaimana bisa aku merasakan cinta pandangan pertama. Haha. Itu sangatlah lucu.”
“Nona, bukan mata yang membuat cinta itu tumbuh,  juga bukan mata yang membuat kita merasa bahagia. . . “
“Tapi mata membuat hidup kita lebih berwarna. Dapat melihat warna putih, hijau, merah, kuning, dan masih banyak lagi. Bukan hanya warna hitam yang terus kita pandang. Bukan warna hitam yang terus kita selami.”
“Nona , ,”
“Kamu tau, Dan. Aku sangat ingin melihat pelangi. Bagaimana bentuknya, dan apa saja warna di dalamnya. Pasti sangat indah. Aku juga ingin merasakan cinta pandangan pertama, seperti saat Bella melihatmu dulu, atau saat Bella melihat Deny sekarang.”
                Hatiku teriris, angin di sekitarku terasa begitu dingin hingga aku tak tahan lagi mendengar jeritnya. Kupeluk tubuh nona Nica dengan erat, dan dia terdiam.
“Jangan sembunyi, jangan sok tegar untuk diam dan tersenyum, Nica. Menangislah, tak apa jika kamu iri pada mereka. Tak apa jika kamu menginginkan seperti mereka. Jangan membekukan hatimu seperti ini, karena aku ada di sini untukmu.”
                Nona Nica mulai menangis. Menitikkan air mata yang begitu berat untuk kelopak matanya. Aku menepuk punggungnya pelan, dan ia semakin membulatkan perasaannya.
“Kenapa kamu mau menjagaku, Dan. Kenapa tujuh tahun ini kamu selalu ada di sisiku. Bella bilang kamu sangat tampan dan pantas dicintai oleh banyak cewek. Tapi kenapa kamu malah mendampingi cewek buta kayak aku.”
“Karena aku telah merasakan cinta pandangan pertamaku.”
“Apa maksudmu?”
“Sejak kita berumur sepuluh tahun, aku sudah menemukan cinta pandangan pertamaku padamu, dan itu takkan bisa digantikan oleh siapapun. Nica, aku menyayangimu, aku mencintaimu.”
“Tidak, kamu berbohong karena kamu kasihan sama aku. Iyakan?”
“Dengarkan aku. Bagiku,cinta pada pandangan pertama itu bukan untuk mata, tapi untuk hati. Kamu tahu, banyak orang yang dapat melihat lebih menginginkan teori CINTA ITU BUTA, daripada mengikuti teori CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA. Karena mereka merasa benar, saat kita buta, maka hati dan pikiran kita yang akan bergerak. Bukan mata yang sering memberi kefanaan pada kita.”
                Nona Nica terdiam. Tangisnya berhenti dan mulai menggenggam lenganku erat.
“Jangan pergi. Tetaplah bersamaku. Di sisiku seperti saat ini, Dan.”
                Kupeluk tubuh mungil itu. Kuusap rambut lurusnya, dan kupandang satu bintang terang yang menemani kami saat ini.
“Nona Nica, aku sangat mencintaimu. Aku akan selalu bersamamu. Percayalah,”
“Jangan memanggilku nona, aku tidak suka. Aku lebih suka kamu memanggilku dengan sapaan Nica saja, seperti tadi.”
“Haha, baiklah, aku akan memanggilmu Nica, tapi saat tak ada siapapun selain kita.”
“Oke.” Ucapnya sembari tersenyum.
                Terdengar suara lonceng tertiup angin. Suaranya penuh dengan keceriaan, tetapi cukup menakutkan jika benar benar dirasakan. Aku dan nona Nica segera menuju rumah saat rintik hujan mulai turun dari langit. Kini bintang tak terlihat lagi. Namun, bintang yang sebenarnya selalu ada di sini, di hatiku.

SELESAI
Tulungagung, April 2013

Cerita dan kejadian di dalam cerita ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada salah kata dan pengetikan saya minta maaf. Terima kasih telah membaca. Nur Asiyah.




Cerpen-Dua Manusia Mungil di Terminal


Dua Manusia Mungil di Terminal
Tanggal 29 September 2013. Jam tanganku menunjukkan pukul enam kurang seperempat, dan kudengar azan maghrib berkumandang. Aku dengan langkah gontai menuju bus kota yang akan mengantarku menuju terminal Joyoboyo. Suara kondektur terdengar ganas untuk menarik penumpang satu per satu menuju bus kesayangan mereka. Kulihat bangku berjajar kosong. Hanya ada seorang sopir yang menyulut sebuah rokok  sembari tersenyum padaku. Aku menghela napas panjang, dan aku mulai duduk di bangku depan untuk menunggu keberangkatan bus.
Satu per satu penumpang datang hingga bangku bus tak tersisa untuk penumpang terakhir. Pengamen dan pedagang asongan silih berganti untuk singgah di bus yang tidak berjalan sedari tadi. Kulihat jam tanganku lagi, pukul 18.30. rasa lapar dan kantuk menyerangku dengan penuh kegembiraan. Beberapa kali perutku berbunyi meminta jatahnya, dan beberapa kali juga aku hampir jatuh dari tempat dudukku karena kantuk. Tas berat yang kubawa dari Tulungagung juga menguras tenagaku. Beras pemberian emak yang tidak ringan membuatku nyaris terjungkal.
Tak kunjung bergerak bus yang kutumpangi. Aku mencoba untuk santai. Namun, seorang anak kecil mencengkeram lenganku dan seketika aku menoleh. Ternyata seorang anak kecil berumur sekitar tujuh tahun mencengkeram lenganku untuk mendapatkan sesuatu untuk dia pegang agar tubuhnya yang mungil tidak limbung (meskipun bus kota tidak bergerak dari tempatnya sama sekali). Anak kecil itu memakai baju lengan pendek terusan selutut berwarna merah muda yang dihiasi motif bunga-bunga berwarna kuning. Terlihat lusuh dan kotor. Ia tersenyum padaku dan aku pun membalasnya. Saat aku berpaling darinya ia langsung memberiku sebuah amplop kecil disertai tulisan dibaliknya. Kutatap dia dan satu anak kecil di belakangnya yang siap melantunkan sebuah lagu dengan gitar kecil yang ia bawa.
Aku mendesah penuh pilu. Rasanya hatiku dikoyak tajam oleh situasi malang yang didapatkan oleh dua anak itu. Lagu pertama mereka lantunkan dari Papinka yang berjudul Masih Mencintaimu. Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Anak sekecil itu sudah melantunkan lagu yang belum cukup untuk umur mereka. Aku pun bertanya-tanya apakah mereka mengerti dan tahu maksud dari lagu yang mereka nyanyikan. Lagu pertama berakhir dan langsung disambung oleh lagu kedua yang aku tidak tahu judulnya. Namun, aku tahu itu lagu orang dewasa yang bertemakan perpisahan sepasang kekasih. Aku mendesah pasrah, lagu sendu itu tidak pantas dinyanyikan oleh dua orang anak bersuara cempreng penuh khas suara anak-anak.
Setelah lagu usai anak berbaju merah muda mulai mengambil amplop dari para penumpang. Aku terdiam tak bergerak, dan saat anak kecil itu menghampiriku, aku segera mengembalikan amplod itu kepadanya. Jujur saja aku tak menaruh satu rupiah pun dalam amplop itu. Bukan karena aku pelit atau  hemat ( eh yang hemat iya juga sih, hehe maklum anak kos). Aku mempunyai pertanyaan-pertanyaan misterius yang muncul di kepalaku. Jika dua anak kecil mengamen di malam hari, apakah keesokan harinya mereka dapat fokus belajar di sekolah? Atau mereka malah tidak sekolah? Lalu dimana kedua orang tua mereka? Apakah orang tua mereka membiarkan mereka mengamen dan kelelahan sedangkan emakku saja sering menangis dan memarahiku jika aku sakit karena kelelahan. Kemana uang penghasilan anak kecil itu akan digulirkan? Untuk biaya hidup mereka atau diserahkan kepada orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Sampai sekarang pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar di pikiranku. Saat aku menulis hal ini pun aku masih memikirkan senyuman anak berbaju merah muda itu. Apakah senyumannya tulus dari hati dan kehidupan indahnya? Atau hanya senyum palsu agar terlihat tabah dan tangguh di kehidupan jalan yang keras dan sangat tidak pantas untuk dua anak kecil yang membutuhkan pendidikan serta kebahagiaan bermain di lingkungan keluarga.


                                                                  TAMAT

Cerita ini berdasarkan cerita nyata diri saya sendiri. Terima kasih.

Senin, 03 Februari 2014

Buku, Buku, dan Buku


Buku, Buku, dan Buku

Namaku Asiyah. Umurku 18 tahun. Saat ini aku menjadi seorang mahasiswa di suatu perguruan tinggi di provinsiku. Aku akan menceritakan sebuah cerita kepada kalian.
Saat aku berumur sembilan tahun aku duduk kelas tiga SD. Kelasku terletak di ujung bangunan bagian selatan dan menghadap ke  utara, berhadapan dengan bangunan kantor, kelas empat, lima, dan enam. Di depan setiap kelas terdapat pohon mangga yang selalu berbuah tiap musimnya. Oh iya, Aku ingat betul perpustakaan sekolahku yang berada di bangunan bagian timur yang menghadap ke arah barat. Perpustakaan sekolahku tidaklah luas. Sekitar 3x3 meter, perpustakaan  dipenuhi dengan deretan rak buku di tiap sisinya, ditambah pula beberapa bangku panjang di tengah-tengah untuk siswa-siswi yang ingin membaca di sana. Perpustakaan kecil itu bukanlah perpustakaan idaman. Karena perpustakaan itu jarang dikunjungi, petugas perpus tetap pun tidak ada. Hanya terkadang salah satu guru mampir untuk melihat perpustakaan tersebut.
Suatu hari aku duduk santai di depan perpustakaan sekolah. Beberapa temanku bermain bola kasti di halaman dengan riang gembira. Aku mencoba masuk perpustakaan kecil itu. Beberapa saat aku berjalan menyusuri deretan rak buku. Aku duduk di bangku panjang dan melihat sekeliling. Sepi dan sedikit berdebu, tetapi aku yakin banyak buku yang menyenangkan di sini.  Tanpa kusadari tergeletak satu buku di samping tempat dudukku. Aku lupa judul buku itu. Namun, aku masih cukup ingat apa isi buku itu. Buku itu bersampul hijau tua dan berisi cerita anak-anak . buku itu menceritakan seorang anak yang tinggal bersama ibunya. Ibunya adalah seorang yang bekerja keras. Di suatu malam seorang anak dan ibunya itu beranjak untuk pulang menuju rumahnya. Ibunya yang bekerja hingga larut malam pun masih dengan semangat menyemangati anaknya. Malam itu adalah malam yang buruk. Hujan deras dan petir menyambar . sang anak pun tidak yakin apakah ia dan ibunya dapat melewati badai itu untuk sampai di rumah mereka. Namun, tiba-tiba bos sang ibu melarang mereka berdua untuk pulang karena tersiar kabar bahwa desa tempat tinggal mereka terkena banjir bandang. Ibu dan anak itu pun segera diajak oleh salah satu anggota ABRI yang berkeliling untuk menuju tempat pengungsian. Beberapa hari setelah sang ibu dan anak tadi tinggal di pos pengungsian mereka, mereka pun kembali ke rumah mereka menggunakan mobil ABRI. Masih terlihat jelas puing-puing bangunan dan korban luka ringan karena bencana itu. Anggota ABRI dengan sabar dan semangat membantu warga untuk membersihkan puing-puing bangunan serta berusaha memperbaiki rumah-rumah yang roboh. Sang anak sangat mengagumi  para anggota ABRI yang perkasa dan dengan ikhlas membantu mereka yang lemah. Akhirnya, anak itu bercita-cita menjadi seorang ABRI saat dia dewasa nanti.
Sebenarnya aku membaca buku itu tidak sekali lahap. Aku meminjam buku itu selama tiga hari. Aku membawanya pulang, dan aku kembalikan di deretan rak buku, bukan di bangku. Aku sangat menyesali ketidakadaan petugas perpustakaan karena banyak buku perpustakaan yang hilang saat itu.
Saat aku duduk di kelas lima. Aku dan kawan-kawanku membersihkan kelas agar terlihat indah dan nyaman untuk ditempati. Aku dan beberapa temanku bertugas untuk membongkar lemari yang kotor. Beberapa perabotan dan buku aku pindahkan ke depan kelas untuk kubersihkan. Tidak sengaja aku melihat satu buku yang sanga menarik. Sampulnya berwarna kuning. Aku lupa judulnya, tetapi aku sangat ingat itu adalah buku tentang cara memanfaatkan buah pisang. Buah pisang tidak hanya dimakan langsung atau hanya digoreng saja. Namun, dapat dijadikan keripik, selai, tepung roti dan lain-lain. Aku masih ingat ada tokoh utama yang tinggal di desa dan memiliki sahabat yang bertempat tinggal di kota. Suatu hari ayah dari sahabatnya itu berkunjung ke desa untuk suatu tugas. Saat itu pula ayah sahabatnya yang menjadi sahabat dari ayah tokoh utama pun  berbagi ilmu tentang pemanfaatan buah-buahan yang lebih berkualitas dan bernilai jual tinggi. Dengan kerja keras dan kerjasama akhirnya keluarga kecil yang tinggal di desa itu tidak hanya menjual mentah hasil kebunnya. Namun, mengolahnya agar terjual dengan nilai yang lebih tinggi. Keluarga kecil itu pun tidak selalu mendapatkan jalan mulus dalam usahanya. Namun, dengan ilmu dan ketekutan yang mereka miliki akhirnya mereka dapat mengembangkan usaha mereka. Mereka memiliki beberapa pegawai dan dapat menyekolahkan anak sulung mereka ke kota. Karena anak sulung mereka memang pandai dan rajin dalam melakukan berbagai hal yang bermanfaat.
Masih kuingat dalam cerita ini banyak sekali ilmu yang ditorehkan. Bagaimana cara menanam pisang yang baik, cara membuat mesin pengering untuk keripik pisang, cara membuat keripik pisang, dan lain-lain. Tidak ada unsur percintaan meski tokoh anak sulung di cerita ini telas berumur lima belas tahun. Namun, cerita ini sarat dengan kekeluargaan dan kerja keras. Aku melahap buku itu selama dua hari. Hanya selisih satu hari dengan buku ABRI (aku lupa judulnya ^_^).
Kini aku berpikir. Apakah anak zaman sekarang masih suka membaca buku-buku cerita. Entah itu cerita ringan atau pun cerita yang berisi ilmu pengetahuan. Jika iya, apakah buku itu benar-benar layak untuk dibaca oleh anak-anak. Apakah anak-anak saat ini lebih suka bermain HP dan PS daripada membaca buku? Sungguh sayang jika memang jawaban dari pertanyaanku adalah iya. Jujur, dulu saat aku masih duduk di SD aku sangat mengagumi buku-buku pelajaran dan buku-buku yang ada di perpustakaan. Karena aku  belum bisa membeli buku-buku yang ada di sekolahku. Aku sangat menyayangi buku, dan sifatku itu aku bawa ke SMP. Dengan buku aku dapat tertawa, menangis, mengerti, dan merasa bodoh. Buku, buku, dan buku.

                                                          SELESAI

Foto yang tercantum adalah foto sahabatku di Surabaya. Ria dan Dewi. ^_^