Detektif RND
Mata
kuliah semantik telah berlalu. Anak-anak mulai beranjak dari bangku mereka.
Kutatap wajah kawanku dengan tatapan sedih. Ia menutup buku dan memandang papan
tulis di depannya dengan pandangan kosong. Aku dan Rara saling manatap dan mengangkat
bahu.
“Di, loe
jangan sedih dong,”ucapku lembut sembari mengelus pundak Diana.
“Kenapa
Mbeb Didi sedih?”
“Gimana
gue nggak sedih, Ra. Giri ngilang selama empat hari. Dia nggak ada kabar sama
sekali. Dia juga nggak masuk kuliah karang.”
“Udahlah,
loe cari cowok lain aja. Gampang kan? Semua senang.”
“Dasar
loe, bukan masalah cari cowok lain ato nggak, Na. Tapi gue penasaran napa Giri
bisa ngilang kayak gini. Kita harus nyelidikin semua ini. Gue mau kalian nolong
gue dalam hal ini.”
“Imbalannya
apa?”
“Hadeh, ,
, Ra. loe perhitungan banget sama temen.”
“Loh,
bukannya gitu, Mbeb Na. Tapi kita kan selalu dikasih imbalan tiap ngejalanin
tugas. Kita itu detektif paling keren di kampus. Jadi Mbeb Didi juga harus
ngasih imbalan ke kita kalo mau kita ikut dia, hehe.”
“Gampang,
gue beliin satu bungkus penyetan buat kalian. Dibagi dua aja ntar, oke?
hahaha.”
“Pelit
banget lu, Mbeb.”
“Udah,
jangan bercanda mulu. Di, emang loe tau rumahnya Giri?”
“Ya
tahulah. Dia tinggal di Wiyung sama tantenya. Soalnya ortu dia udah nggak ada.
Kalian mau bantu gue kan?”
“Ya
pastilah.”
“Kita
ngomongin apaan sih?”
“Ampun,
Ra! Loe kemana aja sih. Semenit nyaut semenit nggak. Di, tapi jangan lupa
imbalannya, hihihi.”
“Dasar
loe, Ra. Dari dulu tetep aja lemot. Kita pulang ke kos dulu buat nyiapin
segalanya. Nanti jam dua kita intai rumah Giri. Oke?”
“Oke.”
Saat aku
dan Diana asik merencanakan pengintaian, Rara malah berjalan mendekati kak
Gilang yang sedang duduk manis di seberang kelas. Rara berbasa-basi dan tertawa
bersama kak Gilang. Aku yang melihatnya langsung berdiri dan menarik tangan
Rara.
“Maaf
kak, Rara mau pergi dulu. Udah ditarik sama malaikat pencabut kebahagiaan.
Thatha , , ,”
Kak
Gilang tertawa dan memandangku. Aku hanya tersenyum dan menunduk malu. Rara
langsung kutarik dan kuserahkan pada Diana.
“Rara , ,
Rara , , loe tu nggak bisa lemot kalo masalah cowok. Tapi yang lain loe nggak
bisa diharepin. Ckckckck.”
Kami
bergegas pulang ke tempat kos. Diana menyiapkan alat untuk pengintaian dan
penyamaran. Aku menyiapkan mobil yang akan digunakan dan Rara mendengarkan musik sambil menari tidak
jelas di sampingku.
Namaku
Nana. Aku adalah seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Aku
memiliki sahabat bernama Diana dan Rara. Kami bersahabat sejak pertama masuk
kuliah yaitu, dua tahun yang lalu. Kami tergabung dalam persahabatan yang
disebut RND (Rara, Nana, Diana). Namun, semua orang di kampus lebih mengenal
kami sebagai detektif RND selama satu setengah tahun terkhir. Karena kami memang
mahir dalam hal penyelidikan.
Kami
memiliki kelebihan masing masing dalam bertindak. Aku memiliki kemampuan
membaca pikiran orang yang aku sentuh. Aku juga memiliki kemampuan handal dalam
mengemudikan mobil. Diana berpegang pada kecanggihan zaman. Dia mengurus segala
alat yang diperlukan seperti alat sadap,
kamera tersembunyi dan sebagainya. Sedangkan Rara memiliki kemampuan memikat
hati laki-laki dengan cepat. Dia memiliki tingkah aneh dan humor yang
berlebihan. Namun, ia memiliki keberanian yang luar biasa dibandingkan aku dan
Diana.
Di
sinilah aku. Bersama dengan kedua sahabatku yang berbeda karakter, tetapi mampu
menyeimbangkan segalanya. Untuk berbagi dan saling menyayangi. Mengerjakan
segala sesuatu untuk menolong yang lainnya dengan cara kami sendiri.
XXXXXXXXXX
Aku dan Diana
menatap Rara tajam. Rara sebagai terdakwa hanya cengingiran sambil
memutar-mutar HPnya. Mobil yang sudah kusiapkan dengan susah payah tidak ada
gunanya. Aku merasa sebal dan bingung pada Rara.
“Ra! Tadi
kan udah gue bilang. Pompa ban belakang bagian kiri dan periksa mesinnya.
Kenapa sekarang mogok?”
“Lu kan
udah tahu, Mbeb. Gue nggak bisa periksa mesin. Salah sendiri lu tadi pakek
sakit perut.”
“Dasar ni
anak, bisanya ngeles aja. Di, karang kita gimana nih?”
“Aku udah
telpon bengkel buat ambil mobil ni. Kita naik angkot aja. Ra, loe cari angkot.
Gue mau ambil laptop sama alat yang lain.”
“Oke,
Mbeb.”
Diana
mengambil segala alat yang dibutuhkan. Setelah Rara mendapatkan angkot kami
langsung menuju rumah Giri. Di dalam angkot terdapat tiga orang penumpang lain.
Seorang nenek berada di samping sopir, seorang anak SMP yang pulang dari
sekolah dan seorang laki-laki muda memakai baju koko serta sarung duduk di sebelahku. Pada awalnya aku merasa
nyaman duduk di kursiku. Akan tetapi, pikiranku terusik saat terjadi guncangan
dan tanganku bersentuhan dengan tangan pemuda itu. Seketika aku langsung dapat
membaca pikiran pemuda itu. Pemuda itu ternyata memikirkan sesuatu yang sangat
tidak cocok dipikirkan di dalam angkot. Dia memikirkan sesuatu yang membuat dia
tersenyum sendirian. Dia memegang tangan Rara, menciumnya dan . . .
“Ah! Gue
hampir gila karena ini. Loe tu sebenernya apa sih. Penampilan luar kayak cowok
alim, ternyata dalemnya mesum. Dasar setan!”teriakku sambil menunjuk pemuda
itu. Pemuda itu langsung terkejut dan memandangku dengan tatapan bingung. Rara
yang semula ingin memencet bel angkot untuk berhenti langsung menarikku keluar dan
tersenyum pada pemuda itu.
“Maaf ya
mas, harap maklum. Ni anak baru nemu di kebun binatang. Biasa, arek ilang.”
Rara, aku
dan Diana turun dari angkot tepat di depan rumah Giri. Kami bertiga mulai
mendekati rumah Giri dan mulai beraksi. Tindakan pertama.
“Ini, loe
bawa seperangkat alat make-up dan pulpen. Pake ini juga di telinga loe biar
kita bisa komunikasi. Loe pura-pura jadi sales alat kecantikan di rumah Giri.
Loe kelabuhi tantenya dan saat loe punya ruang hadepin pulpen ini ke kamar
Giri. Kamar Giri ada di kanan ruang tamu. Jangan lupa sebelum itu pencet bagian
atas pulpen biar gue bisa lacak dari sini. Kamera ini temuan terbaru gue sama
teman gue dari robotika. Dapat nembus ruang dan dapat mengidentifikasi sesuatu
yang kita inginkan.”
“Kenapa gue
yang selalu jadi kelinci percobaan?”
“Karena
loe cewek yang paling pintar ngerayu, Ra. Udah, cepet laksanain tugas loe. Gue
ama Diana bakal nunggu loe di sini”
“Iya-iya.”
Rara
beranjak dari tempatnya dan mulai memencet bel rumah Giri. Saat tante Giri muncul Rara
langsung tersenyum manis dan berbasa-basi. Tante Giri pun tertarik dan
mempersilakan Rara masuk.
“Dasar,
anak itu pinter banget kalo masalah beginian.”
“Hahaha,
senggaknya dia dapat ngebayar kesalahan mobil tadi, Na.”
Aku dan Diana
duduk menunggu Rara memencet pulpen yang diberikan padanya tadi. Beberapa saat
kemudian pulpen aktif dan mengarah ke kamar Giri. Diana langsung mengetahui
Giri tidak ada di rumah. Karena kameranya tidak menunjukkan keberadaan orang
selain tante Giri dan Rara.
“Ra,
jangan gerak terus!”
“Iya-iya,
Di.”
“Kenapa
Giri punya banyak alat make-up di kamarnya ya? Aneh, padahal Giri nggak suka
pakek gituan.”
“Mungkin
Giri selingkuh, Di. Terus dia dapet alat make-up itu dari selingkuhannya.
Selingkuhannya pengen si Giri tambah ganteng.”
Diana
menatapku tajam dan memegang dahiku.
“Na, loe
udah ketularan Rara ya?”
“Hei,
ngapain manggil-manggil nama gue.”
“Nggak apa-apa.
Ra, cepet keluar! Kita pergi sekarang.”
“Oke.”
Beberapa
menit kemudian Rara langsung keluar dari rumah Giri. Rara tersenyum penuh kebanggaan.
Sedangkan aku dan Diana langsung berbisik-bisik untuk menggoda Rara. Mobil Diana
telah diperbaiki di bengkel. Kami pun langsung mengambilnya dan pulang untuk merencanakan
tindakan berikutnya.
XXXXXXXXXX
Penyelidikan
kedua. Rara, aku dan Diana mengintai Giri di depan rumahnya malam ini. Terlihat
Giri keluar rumah dan masuk ke sebuah mobil yang parkir di depan rumahnya.
“Sejak
kapan Giri punya mobil?”
“Tauk.”
“Sejak kapan
Giri jadi ganteng?”
Aku dan Diana
serempak menatap Rara dengan tatapan tajam. Rara hanya tersenyum dan menatap
kami berdua dengan tatapan tanpa dosa.
“Maaf,
Mbeb. Gue oplos, eh polos maksudnya, hehehe”
Aku
langsung memutar mobil saat Giri pergi dengan mobil barunya. Giri mengemudikan
mobilnya dengan kecepatan tinggi di jalanan yang padat. Namun, aku tidak mau kalah dan mengerahkan tenagaku untuk
mengikutinya.
Giri
menambah kecepatannya dan aku mulai amarah. Aku menaikkan kecepatan sampai 120
dan mendahului mobil Giri. Saat aku mendahului mobil Giri Diana mendongak untuk
melemparkan alat micro di pintu depan bagian kiri. Namun, setelah itu Giri juga
menambah kecepatan dan melesat pergi.
“Tadi
Giri kemana?”
“Ke situ
mungkin, Na. Tadi gue liat dia belok di situ.”
Aku
menuruti ucapan Rara dan berhenti di depan sebuah gerbang. Kami mulai turun dan
berjalan memasuki gerbang. Terlihat sepi dan gelap. Rara terus berjalan dan
menyandung sesuatu.
“Wah,
makam, Cak.”
“Apa?”
Serempak
aku dan Diana terkejut. Kami saling
berpegangan tangan dan menepuk pundak Rara jengkel. Rara malah menatap
sekeliling dan berdiri tegak di sampingku. Sedangkan aku dan Diana menatap Rara
penuh curiga.
“Nyesel
gue nurutin kata-kata loe. Emang nggak pernah bener loe dari dulu. Ayo cepat
pergi!”
Kami
mulai berbalik. Namun, tiba-tiba seorang kakek muncul di depan kami. aku dan Diana
langsung istighfar beberapa kali dan menggenggam tangan Rara kuat-kuat.
Sedangkan Rara malah terdiam dan menatap kakek itu lekat-lekat. Kakek itu
memakai sarung di pundaknya dan membawa senter.
“Mengapa
kalian di sini malam-malam? Nggak takut ta?”
“Kakek
siapa?”tanya Rara sembari menatap curiga.
“Aku
penjaga makam ini. Lebih baik kalian pergi sekarang. Tidak baik di sini
malam-malam.”
“Iya,
Kek.”
Kami
bertiga mulai beranjak pergi. Namun, saat Rara menoleh kebelakang ternyata
kakek itu sudah tidak ada.
“Loh, kok
kakek tadi nggak ada sih.”
“Jangan-jangan , , , “
Aku dan Diana
langsung berlari keluar makam. Sedangkan Rara malah berjalan santai sambil
bersenandung. Aku langsung gas pol meninggalkan pemakaman itu. Di dalam mobil, aku
memarahi Rara habis-habisan. Karena diantara kami bertiga, akulah yang paling
tidak menyukai horor. Diana juga mendukungku dalam hal ini. Karena ia yakin
seratus persen bahwa yang kami temui tadi adalah hantu. Rara malah bersenandung
dan tertawa melihat kami kewalahan.
XXXXXXXX
Tindakan
ketiga. Setelah kami bertemu hantu semalam. Kami tidak bisa tidur dengan
nyenyak. Namun, untung saja mata kuliah hari ini dimulai pukul sebelas dan
hanya dua jam pelajaran. Sehingga kami bisa tidur dan melanjutkan penyelidikan
hari ini.
Sebelum
mata kuliah dimulai kami berkumpul di balkon gedung kampus. kami berdiskusi dan
melihat hasil sadapan tadi malam.
“Gue udah
nembusin alat gue ke bagian dalam mobil. Sekarang kita tinggal melihat hasilnya
lewat laptop.”
Diana
langsung mengecek apa yang telah direkam oleh alatnya. Tenyata Giri sedang
menjemput wanita lain malam itu. Wanita itu mengajak Giri bermalam di hotel dan
melakukan sesuatu yang tidak semestinya di lakukan. Giri pun menerima ajakan
wanita itu. Wanita itu pun terdengar mencium Giri dan berkata akan memberikan
sesuatu yang lebih dari mobil yang dimiliki Giri sekarang. Diana sangat
terkejut saat Giri memanggil wanita itu dengan panggilan ‘Tante Sayang’.
“Wah,
pacar loe parah, Di. Dia sama tante girang.”
“Di,
jangan dengerin Mbeb Nana. Giri bukan sama tante girang, Mbeb Nana itu sok
tahu. Emang loe tahu dari mana, Mbeb?”
Aku
menghela napas dan menepuk dahiku. Rara hanya memandangku dengan penuh tanda
tanya. Sedangkan Diana langsung beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba
terlihat Giri berjalan menaiki tangga gedung yang berseberangan dengan balkon.
Giri tersenyum pada Diana dan menghampirinya. Diana hanya terdiam dan menunduk.
Aku dan Rara tidak berani ikut campur. Giri mencoba menyentuh pundak Diana. Namun,
Diana langsung menghempaskan tangan Giri dan menampar pipi kirinya.
“Loe
cowok tahu diri nggak sih? Masih berani nemuin gue.”
“Ya, gue
tau semuanya pasti bakal terungkap. Gue tahu apa salah gue sama loe, Di. Tapi
gue bisa jelasin semua. Nyokap gue udah meninggal. Bokap pergi dan nikah di
Jakarta. Gue nggak punya siapa-siapa selain tante gue. Tante butuh uang untuk ngurus
gue. Dia baru aja di PHK. Gue harus ngelakuin kerjaan itu mau nggak mau.”
“Berarti
kita harus putus, mau nggak mau!”
“Yank,
nggak bisa gitu. Gue sayang banget sama Loe.”
“Gue
karang benci banget sama loe. Guys, ayo pergi. Kita bolos aja hari ini.”
“Tapi mata kuliah hari ini kan apresiasi
drama. Gue nggak mau bolos.”
“Hadeh,
ratu drama nih. Yadah, nggak jadi bolos low gitu.”
Rara, aku
dan Diana berlalu di depan Giri. Giri masih berusaha menggapai tangan Diana.
Namun Diana tersenyum dan menghempaskan tangan Giri. Saat kuliah usai kami
bertiga langsung menuju kantin.
“Asik,
penyelidikan telah selesai. Saatnya Diana ntraktir kita.”
“Enak
aja, BDKS!”
“Apa BDKS?”
“Bayar
Diri Kalian Sendiri.”
“Pelit!”
Aku dan Rara
berteriak serempak di telinga Diana. Diana hanya menggerutu sedangkan aku dan Rara
malah tertawa terbahak-bahak. Saat kami bercanda tiba-tiba Andri, anak jurusan SRDG
menghampiri kami.
“Guys,
bisa bantu gue nggak?”
“Bantu
apa?”
“Lukisan
gue ilang. Padahal lukisan itu udah menang lomba minggu lalu dan mau dibeli ama
seseorang seharga sepuluh juta. Sepertinya pencuri itu warga kampus kita juga.
Kalo kalian bisa nemuin lukisan gue sampek minggu depan, kalian akan dapetin
sepuluh persen dari penjualannya. Gimana?
Kami
bertiga saling menatap dan tertawa bersama.
“Tentu
bisa. Loe tinggal kasih info tentang lukisan loe itu.”
“Oke, nanti
gue kirim foto lukisan gue lewat e-mail ya? Gue pergi dulu. Gue ada kelas
karang.”
“Eh,
Ndri. Ehm, kita kan lagi bokek, trus , , ”
“Sssstttt,
gue tahu maksud loe, Ra. Nih.”
Andri
memberikan selembar uang lima puluh ribuan. Rara yang menerimanya langsung
tersenyum dan melambaikan tangannya pada Andri.
“Lunchtime,”seru
Rara sambil melambaikan uang dari Andri.
Aku dan Diana
hanya tertawa melihat tingkah Rara. Aku senang Diana tidak memikirkan kesedihannya.
Meskipun aku tahu dia masih memiliki sedikit rasa sakit yang dibuat oleh Giri.
Namun, Diana dapat tertawa bersama kami semua. RND bukan sekedar ikatan
persahabatan. Akan tetapi, ikatan sebuah hubungan untuk saling menjaga,
menghibur, berbagi cinta dan sebuah keluarga kecil yang bahagia.
SELESAI
Cerita
ini hanya fiktif belaka. Jika terdapat kesalahan atau sesuatu yang tidak
berkenan saya sebagai penulis minta maaf, Nur Asiyah.