Kamis, 11 April 2019

Tiga Produk Bija dari Innisfree




Halo! Selamat pagi, siang, atau malam untuk semuanya. Seperti judul yang sudah tertera sebelumnya, Nana akan sedikit mengulas tentang produk Bija yang berasal dari Innisfree. Sudah tahu kan Innisfree itu apa dan dari mana? Bagi yang belum, Innisfree adalah perusahaan kosmetik yang berasal dari negeri Gingseng yakni Korea Selatan. Yang Nana tahu, model Innisfree itu ada Yoona SNSD dan Lee Minho. Sepertinya Innisfree ini termasuk perusahaan kosmetik yang mengutamakan bahan-bahan alami. Bagi yang sudah kepo, habis ini bisa langsung cek produk-produk mereka di www.innisfree.com .


Mengapa Nana sangat ingin membahas produk Innisfree? Karena, Nana akhir-akhir ini sedang memakai produk mereka dan alhamdulilah cocok. Di sini Nana nggak bermaksud bilang produk ini juga cocok dengan kebutuhan kulit kamu ya …. Tapi, jika kulit kamu sensitif dan cenderung berjerawat, silakan mencoba produk yang Nana sarankan.

1.      Capsule Recipe Pack ( sleeping pack)



Nah, untuk produk ini aku punya yang mengandung bija oil dan ekstrak aloe vera. Bentuknya kecil imut (tapi enggak kecil-kecil amat) dengan ukuran 10 ml. Warnanya hijau tosca dan ada gambar bija serta aloe vera. Untuk aku pribadi, produk ini bisa dipakai lebih dari tujuh kali (hemat yesss). Berhubung kulit ini gampang jerawatan dan sensitif, aku pakai sleeping pack dua hari sekali sebelum tidur. Dari rating 1 sampai dengan 10, sepertinya Nana kasih 8. Karena sleeping pack ini cukup menyenangkan. Setiap setelah bilas di pagi hari, kulit terasa lembut dan beberapa jerawat cepat mongering. Selain itu, aroma dari variasi bija ini harum dan sangat segar (seperti bau jeruk).

2.      Bija Trouble Cleansing Gel


Produk kedua ini adalah produk yang kadang terlewatkan karena aku tipe cewek yang agak malas untuk membersihkan wajah. Kadang merasa kalau cuci muka saja sudah alhamdulilah. Tapi, berhubung wajah ini sungguh istimewa dan sedikit berbeda dengan perempuan yang wudu aja cukup. Akhirnya, mau enggak mau belajar membiasakan diri untuk menghapus make up (yang sebenarnya enggak tebal) dan kotoran dari wajah.
Awal pakai cleansing gel ini aku sedikit bingung. Saat bertuliskan cleansing gel, aku pikir produk ini akan berbentuk gel, ternyata tidak sepadat perkiraanku. Malah terkesan cair. Saat diaplikasikan di wajah, sedikit lengket dan menimbulkan kerlip. Terasa seperti ada butiran dan saat aku cek di komposisinya, ternyata ada crystal rose (ada juga di sabun wajah varian Bija). Mungkin itu yang membuat terasa seperti ada butiran. Tapi, bisa jadi juga yang lainnya karena kandungan di dalam produk varian bija ini sangat beragam..
Setelah dibasuh dengan air, wajah terasa lembut dan sedikit licin. Setelah memakai ini, biasanya aku langsung memakai sabun wajah untuk menyelesaikan pembersihan wajah. Dari rating 1 sampai 10, aku memberinya tujuh. Aku suka kerlip dan sensasi bersih saat dipakai. Tetapi, aku tidak suka wajahku yang agak licin.

3.      Bija Trouble Facial Foam

Produk ini tentu terlihat seperti produk biasa. Tidak ada yang spesial, hanya sabun wajah semata. Eits, bagiku ini berbeda. Sabun wajah dari Innisfree ini memiliki tekstur lembut dan penuh busa. Usai dipakai dan dibasuh dengan air, dia tidak licin atau lengket. Aku merasa produk ini benar-benar membersihkan. Membuat kulit wajah terasa halus, tidak kering tetapi juga tidak licin. Jadi, pas.
Sabun wajah ini aku pakai tiga kali sehari saat mandi pagi, mandi sore  dan sebelum tidur. Kadang juga dua kali sehari. Dari rating 1 sampai dengan 10. Aku memberinya 9, karena aku suka tekstur dan wajah lembut seusai membasuh wajah.


Yup, itu tadi sedikit ulasan dari Nana. Jika ada salah kata, Nana minta maaf. Produk ini baru Nana pakai beberapa bulan. Nana membeli produk Innisfree di gerainya langsung, tepatnya di Pakuwon Mall, Surabaya. Di sana produk Innisfree cukup lengkap dan pelayannya ramah. Kadang aku yang tidak tahu apa-apa ini sangat memalukan, tetapi pelayan di sana sangat pengertian.
Nah, bagi yang ingin mencoba produk Innisfree tapi jauh dari gerainya. Bisa JASTIP di saya (ciyeee NANA JASTIP promosiiii) …. Biayanya terjangkau yakni 8-10% dari harga barang. Dijamin dari gerainya langsung dan aman. Sip? Oke. Sampai jumpa di ulasan produk selanjutnya. Semoga selalu sehat dan bahagia …. Terima kasih.


Jumat, 08 Februari 2019

CERPEN


Lavendel, Kamu, dan Uang

Nur Asiyah



Gelas gemerincing dalam tarian kaca. Sesekali berpapasan dengan piring dan mangkuk raksasa. Sendok tak turut. Benda itu sudah duduk manis bersama garpu di lubang temaram. Seorang wanita melenggang di jalan sempit. Dia menurunkan kopi hitam dan kue lapis. Selain itu, ada senyum madu yang ia urai untuk orang-orang di sekitarnya.
“Ndri, tidak pesan kopi?” tanya Tatang seusai membelai punggung tangan si gadis kopi.
“Nanti dulu, Tang. Mau ambil topi di truk. Kelupaan.”
“Halah! Topi saja dipikirkan. Nanti-nanti juga bisa,” gerutu Tatang.
“Ah, bukan begitu. Biar kuambil sekarang.”
Landri buru-buru menjauh dari MERONA. Sebuah warung singgah yang dibangun persis di pinggir kota. Bukan apa-apa, diyakini warung tersebut menyimpan puluhan mutiara. Siapa yang tak suka. Sopir truk banyak yang mampir, bukan hanya makan dan menyesap kopi. Namun, melepas lelah dan ciuman pula.
Jarak tempat makan dan parkir truk cukup menyiksa sandal. Alas kaki milik Landri yang peyot sudah meronta minta diganti. Bukan masalah bikin dia terpeleset dan celaka, tapi si pemilik lebih sayang istri. Beli beras, minyak, gula, dan ayam. Itu-itu saja yang dipikirkan. Sandal? Tidak masuk dalam daftar pembelian.
“Gimana? Topimu tidak dimaling orang, kan?”
“Mana mau, Tang. Seperti tidak ada yang lain saja.”
“Lha, terus kenapa kamu sampai nyusul topimu di truk tadi?”
“Ingin saja. Kurang enak kalau tidak pakai topi.”
“Ckckck… topi murah saja disayang-sayang, Ndri… Ndri....”
Landri tak membalas. Meskipun darah mulai naik ke ubun-ubun, dia sudah kebal dengan omongan sahabatnya satu itu. Tatang sibuk memutar-mutar gelas buram. Dilihat lebih dalam, kopi dan gula tidak tercampur sempurna. Gula banyak yang mengendap di bawah, tapi lelaki itu tak menolak asal Antin yang buat.
Antin, satu diantara banyak mutiara yang terkungkung dalam MERONA. Wanita itu betah menemani Tatang selama lelaki itu menyisipkan uang. Jika dompet sedang sekarat, wanita itu akan beringsut pada Bayu atau Mamad, sopir truk kayu yang uangnya tak pernah tandas.
“Landri, apa kamu juga merasa setoran dari Haji Muklis semakin sedikit?”
“Iya. Padahal bahan pangan mulai naik. Tapi pendapatanku bulan ini malah turun, Tang. Ditambah istriku minta minyak lavendel lagi. Katanya di rumah sudah habis.”
“Buat apa istrimu minta minyak lavendel terus? Setiap aku mampir ke warungmu, cuma bau soto ayam dan sambal pecel saja yang tercium.”
“Siapa juga yang mau menaruh wewangian di warung sederhana, Tang. Ratih itu pintar, dia memakainya di dalam kamar. Jadi cukup dia dan aku saja yang membauinya. Sesekali Laras juga masuk kamar. Anak semata wayangku itu juga menyukainya.”
“Ck… tahu dari mana kalau cuma Ratih dan Laras yang masuk kamar? Bisa saja Ratih mengundang orang lain saat kamu tidak di rumah.”
Landri menatap tajam. Bagai serigala yang digerogoti insting membunuh. Dia siap menyalak Tatang. Tapi semua runtuh saat pikiran jernihnya kembali. Terakhir berseteru dengan Tatang, dia mengalami masa yang cukup sulit. Meskipun penampilan Landri dan Tatang semacam sebelas dua belas, tapi Tatang adalah senior di bidangnya. Landri tidak ingin terjungkal untuk kedua kalinya. Dia menghela napas dan mencari jawaban seadanya.
“Ratih itu bukan Endang, Tang. Jangan disamakan.”
Tatang tersenyum kecut. Istri lelaki itu memang sudah terkenal jeleknya. Saat sang suami bekerja, dia malah menuntun lelaki lain untuk tinggal bersama. Tidak ada yang patut dibanggakan. Anak Tatang pun sedih ber-ibu-kan seorang Endang. Ditambah Tatang yang jarang di rumah, entah bagaimana keadaan si anak.
“Ndri, dua hari lalu aku mampir ke toko untuk beli titipan Haji Romlah. Si Dendi bilang harga minyak bunga naik. Jika begini, kamu masih mau membelikan keinginan istrimu itu?”
“Mau tidak mau, Tang. Istriku dari dulu tidak minat minta yang aneh-aneh. Ya satu itu, dia meminta minyak lavendel setiap dua bulan. Sudah bagus dia tidak minta alat racik baru padaku. Dia tetap pakai lilin lamanya.”
“Harusnya istrimu itu banyak uang, Ndri. Dia jualan makanan tiap hari. Aku saja makan di tempatmu kalau tidak kerja begini. Uang hasil jualan itu dikemanakan?” tanya Tatang disusul suapan kue lapis ke mulut.
“Ditabung, Tang. Buat biaya sekolah Laras. Selama ini anakku itu tidak minta apapun padaku. Dia selalu minta ibunya. Beli tas, sepatu, buku, iuran kelas, semuanya.”
“Lalu, si ibu giliran minta padamu begitu? Ndri… Ndri… kamu itu terlalu baik. Kamu harus sadar pekerjaanmu itu apa. Jangan cuma pikir rumah tanggamu.  Sudah dua tahun tapi tidak paham juga.  Coba lihat kanan-kiri.”
Landri tak patuh. Dia malah membenahi topinya yang sedikit miring. Lagi-lagi Tatang tersenyum. Bukan merasa terhina, tapi merasa perlu berusaha agar Landri ikut arusnya.
“Siang ini, dari sepuluh sopir truk yang singgah di MERONA cuma kamu sama Pak Ketut yang malas nggoda wanita. Lainnya, pasti sudah cengengesan dan manja-manjaan. Nah, kamu jangan terlalu sayang sama istri. Toh, dia tidak bersamamu tiap hari.”
Siapa bilang Landri terlalu sayang istri? Lelaki itu sering hanyut dalam jebakan Rukma. Tapi tak sampai mengecup kening wanita itu, Landri telah membuka topinya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dua wanita mendekat dengan nampan berisi kopi dan makanan. Harum gulai kepala ikan dan nasi hangat membumbung mesra. Landri berkali-kali menarik napas untuk menjerat aroma. Di sisi lain, Tatang tak peduli. Lelaki itu menilik hal tersendiri. Antin, wanita pujaan hati itu mulai mengibaskan rambutnya untuk tebar pesona.
“Ini makanannya, Bang Tatang.”
Tatang mengangguk cepat. Lelaki itu segera menarik tangan Antin untuk mendekat padanya.
“Ini kopimu, Mas Landri.”
Landri mengangguk tanpa menatap si pelayan.
“Ndri, lihat, si Rukma makin cantik sekarang. Kamu yakin tidak mau dengannya?”
Kali ini Landri benar-benar tertarik. Bukan masalah goda-menggoda. Tapi lebih dari itu. Wanita itu mulai memiliki kemiripan yang sangat dengan Ratih. Bukan rona wajah, apalagi tingkah.
“Kenapa akhir-akhir ini kamu bau lavendel, Rukma?”
Si tertuduh tertawa manja. Semu merah jambu di pipinya kian nyata. Setelah meletakkan pesanan dengan benar, wanita itu bersandar mesra pada Landri. Landri diam, tidak menolak, tidak menerima. Rukma memainkan sejumput kemeja kusut milik Landri. Sesekali wanita itu menerawang wajah sang kekasih.
“Tatang bilang kamu suka bau bunga ungu. Jadi aku membelinya agar bisa lebih dekat denganmu. Tidak perlu membayarku hari ini. Tapi coba perhatikan aku. Setelah dirasa cocok, baru keluarkan uangmu untukku esok hari.”
Landri gugup. Wanita di sisinya semakin menempel. Tatang turut mendukung. Antin tertawa-tawa melihat Landri yang dilema. Setiap minggu Landri mampir dan Rukma yang selalu menyuguh kopi. Sudah dua tahun dan dia masih betah menggoda. Landri kadang juga berpikir alangkah baiknya jika dia memiliki Rukma.
Rukma itu menawan. Cukup menakjubkan wanita itu mengejar-ngejar Landri yang pas-pasan. Masih banyak sopir truk yang berdompet tebal, tapi malah dia acuhkan. Jika pun Landri terpikat, uang sebesar apa yang ia dapat? Paling besar pasti lima puluh ribu. Coba sopir lain, pasti dua ratus ribu bisa dia kantongi dengan mudah.
“Ndri! Ngelamun saja kamu! Itu loh ditawari Rukma. Gratis!” Tatang mencoba kompor.
“Bagaimana, Mas Landri. Aku sudah memakai wewangian kesukaanmu. Kurang apa lagi?”
Landri acuh tak acuh. Rukma yang mengamati semakin bersikeras memikat. Wanita itu tersenyum-senyum. Ditambah dia memijati pundak lelaki itu perlahan. Mirip sekali dengan pijatan Ratih pada Landri sepulang kerja. Lelaki itu benar-benar dalam bahaya sekarang.
“Hahhh!” teriak Landri tiba-tiba. Antin, Rukma, dan Tatang berjingkat. Mereka terkejut dengan reaksi Lantri yang tak terduga.
“Kamu itu ngomong apa, Rukma! Menawariku? Buat apa! Di rumah saja aku punya bau semacam ini. Sembilan tahun aku menciuminya. Apa di sini aku harus menerimamu juga? Lagi pula bau di rumah masih lebih bagus daripada kamu. Dasar!” gerutu Landri keras.
Rukma disingkirkan dengan kasar. Landri membawa kopinya menjauh dari meja Tatang. Lelaki itu menarik sebatang rokok dari sakunya. Dia main-mainkan lalu dibuang. Sudah kena tanah, tapi dipungut lagi. Dimasukkan saku dan tangan berganti ke topi. Diraih selembar kertas warna kecokelatan. Diciumnya dengan sayang.
“Ada untungnya aku menetesi kertas kelobot ini, Ratih. Semoga harummu tetap mengiringi rezekiku. Hah, ada apa dengan si Rukma? Aku sungguh kesal dibuatnya.”
Topi dibuka lagi. Kertas kecokelatan tadi kembali bersarang di sela-sela penutup kepala. Dipandanginya topi tersayang. Warna biru tua itu telah luntur, ditambah ada robek di bagian ubun-ubun.
Landri menghela napas. Dia menyesap kopinya perlahan dan merasa lebih tenang. Tak berapa lama, dilihatnya sebuah truk bermuatan pakan ikan mendekat. Turunlah seorang lelaki paruh baya yang masih mencuatkan sifat beringas. Selayak permen tanpa bungkus, lelaki itu langsung disambut beberapa penggoda.
Lelaki itu tertawa nyaring. Kecupan mesranya ditempel pada satu penggoda ke penggoda lain Siapa sangka, lelaki paruh baya itu adalah kakak sulung Ratih. Sama saja dengan lainnya. Saat melintas di depan Landri, lelaki itu semakin merekahkan tawanya. Dia, bahagia.

SELESAI


Nur Asiyah, lebih dikenal dengan nama Nana Shina (nama pena) lahir di Tulungagung, 6 Januari 1996. Dia mengenyam pendidikan tinggi di Surabaya dan kembali ke Tulungagung pada tahun 2017. Saat ini berprofesi menjadi guru di sebuah SMA swasta. Dia memiliki hobi mengoleksi parfum dan buku bacaan. Saat ini, pembaca dapat berinteraksi dengannya melalui media sosial Instagram @nana_shina96.

Catatan : Pertama, penulis meminta maaf jika ada kata yang tidak berkenan. Kedua, dilarang meng-copy atau menjiplak karya dari blog ini. Terima kasih.

Kamis, 07 Februari 2019

Kakek dan Hutan Kandung



Seikat rumput kuhempaskan di atas lincak. Suara “Krieettt!” terdengar darinya bagai jeritan minta dibenah ulang. Aku setengah tak menghiraukan. Aku mengusap peluh yang bercucuran dan mulai mengambil rumput segenggam untuk makan kelinci.
“Kak Bumi!” Aku menoleh. Terlihat dua bocah berumur 10 tahun berlarian menujuku. Aku pun tersenyum dan mengerti maksud mereka. Kuberesken rumput yang berserakan dan bergegas mengabutkan pakaian agar tidak terlihat usang.
“Kak Bumi, hari ini kami akan mendengar cerita apa?” tanya Zulfa penuh semangat.
“Haduh, maaf ya. Aku lupa tidak mempersiapkan cerita. Bagaimana ini?” jawabku sembari menggaruk kepala yang tak gatal.
“Bohong! Kamu selalu memiliki cerita, Kak Bumi.”
Aku tersenyum. Aku mulai berpindah dari kandang ke teras depan rumah. Mereka pun mengikuti jejakku dengan perasaan senang luar biasa.
“Baiklah, hari ini aku akan menceritakan dongeng yang sangat istimewa,” ucapku mengawali. Sebelum aku meneruskan ucapanku, aku meneguk air dari kendi dan melahap pisang goreng yang telah disediakan Emak.
“Istimewa? Tentang binatang, hantu atau makhluk luar angkasa? Cepat katakan.”
“Hahaha, sabar Zulfa. Ehm, hari ini aku akan menceritakan tentang legenda di desa kita yaitu Legenda Hutan Kandung.”
Zulfa segera merapat pada Anwar. Dia seakan berbisik tetapi aku mampu mendengarnya dengan jelas, “Itu adalah tempat Kak Bumi biasa mencari rumput, kamu tahu, kan?” Anwar pun mengangguk dengan mantap.
“Dahulu kala, pada masa kekuasaan Majapahit, hiduplah seorang adipati yang bernama Adipati Nilosuwarno. Adipati Nilosuwarno memiliki istri yang sangat cantik bernama Rayung Wulan. Suatu ketika, Rayung Wulan sedang mengandung dan mengalami ngidam. Dia menginginkan badher bang sisik kencono yang tingkal di dalam sebuah batang pohon.”
“Apa ada ikan badher yang tinggal di dalam batang pohon, Kak?” tanya Zulfa bingung.
“Tentu saja ada, di masa itu,” jawabku sembari tersenyum. Mereka kembali mendengarkanku dengan penuh perhatian. Bayangkan jika aku bercerita semacam ini pada orang dewasa, mungkin aku akan ditertawakan dan dianggap gila.
“Saat tahu sang istri menginginkan ikan badher, Adipati Nilosuwarno mengerahkan seluruh pasukannya untuk menangkap ikan tersebut. Namun, tidak ada yang bisa menangkapnya. Akhirnya, Adipati Nilosuwarno sendiri yang pergi mencari ikan ditemani seorang patihnya bernama Sengguruh.”
“Mereka mendapatkannya?”
“He, em. Mereka mendapatkannya, Anwar. Tapi, Adipati Nilosuwarno dibunuh oleh pembunuh bayaran saat perjalanan pulang, dan hanya Patih Sengguruh yang selamat.”
“Lalu, apa yang terjadi setelah itu?”
“Hhhmmm… bagaimana ya. Ternyata, Patih Sengguruh menyukai Rayung Wulan. Dia ingin Rayung Wulan menjadi istrinya.”
“Jangan-jangan Nilosuwarno dibunuh oleh Sengguruh, Kak Bumi. Bukan pembunuh bayaran.” Aku tersenyum sembari mengangguk. Penalaran yang cepat sekaligus tepat untuk anak seumur mereka.
“Saat itu, Rayung Wulan tidak ingin diperistri Sengguruh yang telah naik tahta menjadi Adipati ke-II. Dia melarikan diri ke sebuah gunung di sisi utara yaitu Gunung Pegat. Di sana dia melahirkan seorang anak yang diberi nama Jaka Kandung. Anak tersebut ia rawat hingga umur tujuh tahun. Setelah itu, Jaka Kandung menimba ilmu di sebuah padepokan di Kediri yang bernama Padepokan Sentono Gedhong. Jaka Kandung tinggal di sana sampai umur 18 tahun.”
“Bagaimana dengan ibunya?”
“Ibunya tetap tinggal di Gunung Pegat. Namun, tahun ketiga selama Jaka Kandung berpisah dengan ibunya, sang ibu tertangkap oleh para pengawal. Dia dibawa ke kadipaten dan dipaksa menikah dengan Sengguruh. Dari pernikahan tersebut, dia memiliki anak bernama Jaka Plontang.”
“Apa Jaka Plontang mirip dengan Jaka Kandung, Kak Bumi?”
Aku menggelengkan kepala perlahan. “Jaka Plontang sangat sombong. Dia suka menindas rakyat dan menghambur-hamburkan uang milik ayahnya. Sementara Jaka Kandung bersifat rendah hati dan sangat menyayangi ibunya. Dia belajar bela diri dengan sungguh-sungguh agar dapat membebaskan ibunya dari cengkeraman Sengguruh. Saat berumur 19 tahun, Jaka Kandung datang ke kadipaten. Dia bertarung dengan para pengawal dan menang dalam sekejap. Sebenarnya dia hanya ingin membebaskan ibunya. Akan tetapi, Sengguruh dan Jaka Plontang berusaha mencelakai Jaka Kandung. Alhasil, dengan berat hati Jaka Kandung menutup usia mereka berdua.”
“Kak Bumi, aku sedih mendengar kematian mereka. Tapi Jaka Kandung juga tidak bersalah,” ujar Zulfa dengan wajah murung. Aku beringsut padanya dan mengusap kerudungnya perlahan.
“Setelah semua kejadian itu, Rayung Wulan kembali ke Gunung Pegat. Dia tidak mau menumpang hidup pada anaknya. Jaka Kandung merasa sedih, tetapi itulah keinginan ibunya. Sementara itu, Jaka Kandung mulai tinggal di Hutan Kandung, hutan yang ada di desa kita ini. Dulu, dia bekerja sebagai seorang petani.”
“Kenapa dia menjadi petani? Dia kan anaknya adipati?”
“Kerajaan Majapahit sudah menawarkan kedudukan adipati pada Jaka Kandung, Anwar. Tetapi dia tidak mau. Dia lebih memilih menjadi petani. Kalian tahu, Gunung Pegat dan Alas Kandung memiliki kedudukan yang lurus. Sehingga, jika Jaka Kandung berada di puncak, dia bisa melihat sang ibu secara langsung.”
“Jaka Kandung sangat menyayangi ibunya, ya?”
“He, em. Kalian juga harus sayang pada ibu kalian ya.”
“Tentu saja, Kak Bumi. Ibu adalah segalanya. Oh iya, ini jam berapa, Kak?”
“Jam setengah lima, Anwar.”
“Coba dengar, sebentar lagi ibu akan berteriak memanggilku,” ujar Anwar cengar-cengir. Belum sampai semenit Anwar berucap, suara ibu Anwar yang memanggil anaknya terdengar dari seberang rumah. Anwar dan Zulfa pun berpamitan. Seperti biasa, mereka berterima kasih atas cerita yang kuberikan.
Keadaan mulai hening. Aku masih betah duduk di dipan dan menyesap minumku kembali.
“Bumi.”
Suara parau itu tidak asing. Tentu saja, seseorang telah datang. Dia berperawakan sedang dengan bahu yang tegap. Pakaian kaos putih, celana hitam selutut, sarung yang tersampir di samping kanan, dan caping gunung adalah ciri khasnya. Kuakrabi kedatangannya. Saat itulah aku menunduk.
Sugeng sonten, Mbah Jaka.” Perlahan dia menyejajarkan posisi. Dia mengusap jenggotnya yang berwarna suci. Aku pun mengikuti, mengusap jenggotku yang masih legam dan tak samar sama sekali. Dia adalah Jaka Kandung, kakek buyutku.
TAMAT



Biodata Penulis
Nur Asiyah, biasa disapa dengan nama pena Nana Shina lahir di Tulungagung, 6 Januari 1996. Dia pernah kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya. Setelah itu, dia menyalurkan ilmunya sebagai mahasiswa pendidikan dengan bekerja di sebuah sekolah dasar dan SMA yang ada di Tulungagung. Selain memiliki minat di bidang pendidikan, dia juga tertarik pada bidang kepenulisan terutama sastra. Karya pertamanya yakni novel yang berjudul PARFUM: Long Distance Relationship Part 1&2 (2018). Disusul karya selanjutnya yakni novel Bersenyawa Denganmu (2019).
Saat ini, dia memiliki hobi yang cukup banyak di antaranya membaca, menulis, mengoleksi parfum dan menanam bunga. Di hari-hari biasa, dia memakai minyak wangi beraroma bunga dan buah. Namun, saat mendekati hari ulang tahunnya, dia sering sakit hingga dia malas memakai minyak wangi dan lebih membutuhkan minyak kayu putih plus minyak kapak. Media sosial Instagram @nana_shina96. Salam literasi.



Catatan: Pertama, dilarang keras meng-copy dan menjiplak karya. Hargai karya orang lain, maka karyamu pun akan dihargai oleh lainnya. Kedua, cerita ini memiliki unsur nonfiksi (cerita tentang Adipati, sang istri dan Jaka Kandung) sekaligus fiksi (Bumi, Zulfa, dan Anwar). Semoga pembaca dapat memilah dengan baik. Terima kasih. ^_^

Rabu, 06 Februari 2019

Elegantfloral, Blooming Boquet dari Miniso


Selamat malam, Teman-Teman. Apa kabarmu hari ini? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan berbahagia. Kali ini Nana akan memperkenalkan sebuah wewangian yang cukup membikin candu. Karena Nana sendiri merasa sangat bergantung pada bebauan ini, begitu  menyenangkan. Percayalah! (Eh, jangan. Nanti dosa. Percayanya sama Allah SWT saja ya, hehe.) wewangian apa sih yang buat Nana begitu antusias untuk mengulas? Yuk kita cek bersama.
Blooming bouquet, dari brand Miniso. Blooming bouquet ini tergolong EdP (Eau de Parfum), sehingga benda ini memiliki kadar essence 8-16% (satu tingkat lebih rendah dari parfum). Akan tetapi, karena Nana akan susah menyebutnya secara lengkap, jadi Nana akan menyebut benda ini sebagai parfum saja (Ingat, sebenarnya dia adalah EdP. Oke!).
Parfum Blooming bouquet merupakan parfum yang memiliki jenis bau fresh sekaligus elegan. Terlihat dari namanya, parfum ini memiliki aroma bunga yang khas. Bagaikan menggenggam sebuket bunga dengan beragam jenis, kalian akan dimanjakan harum yang senantiasa berganti namun tetap menyenangkan.

Secara fisik, saat pertama melihat tester parfum ini di gerai Miniso, tepatnya di Royal Plaza Surabaya, Nana langsung tertarik. Mengapa? Karena bentuk dari parfum ini begitu unik sekaligus romantis (Menurut Nana ya ^_^).
Botol parfum ini berbentuk bulat dengan lekukan yang banyak namun teratur. Jika dibayangkan, bentuk botol ini seperti dua mangkuk yang dihadapkan atas-bawah. Warnanya yang transparan membuat kita dapat melihat cairan parfum tersebut dengan jelas. Nana juga sangat tertarik dengan simpul pita yang berada di tengah botol. Pita warna pink-oranye-cream terang itu membuat mata semakin merasa dimanja. Selain itu, bagian tutup botol yang berwarna emas menjadikan parfum terlihat berkelas, elegan, dan tidak terkesan murahan.
Setelah merasa cocok dengan parfum tersebut, Nana langsung menuju tempat di mana benda itu dipajang. Ternyata, kotak Blooming bouquet ini juga mengesankan. Kotak tersebut memiliki warna dasar cream. Terdapat juga tulisan nama berwarna hitam dan tentu saja tulisan merk berwarna emas. Sangat cantik dan terkesan mahal.

Ada satu benda lagi yang membuat Nana merasa seperti perempuan yang begitu berharga. Apa itu? Sebuah kartu ucapan yang bertuliskan sebuat kalimat indah. Begini bunyinya, “A woman wearing the wrong parfum has no future!”. Ungkapan tersebut membuat Nana berpikir betapa pentingnya parfum bagi perempuan. Parfum adalah jati diri. Perfum adalah karakter. Dengan aroma itu pun kamu akan menemukan jalan-jalan kecil, dan itu semua akan mengantarmu pada pengalaman berharga dalam hidup.
Layaknya parfum biasanya, Blooming bouquet ini memiliki tiga tingkatan aroma (meskipun dalam tulisan bahan pada bungkus hanya menjelaskan water, alcohol, dan fragrance). Tingkatan pertama atau top pada parfum ini adalah peach dan orange. Saat pertama kamu menyemprotkan parfum ini, kamu akan benar-benar membaui aroma segar dari buah. Kadang, aroma bunga sedikit menyusup di tengah (Padahal itu belum waktu si aroma bunga keluar). Apapun itu, baunya sangat segar dan dapat mengembalikan mood kalian yang mungkin sedang mendung atau hujan.
Selanjutnya, ditingkat kedua atau biasa disebut middle, parfum ini menyebarkan harum gardenia jasmine (kok tahu? Soalnya ada tulisan di balik kartu ucapan, hehe). Di bagian ini, wangi bunga terkesan lebih lembut dan manis. Aroma ini dapat menenangkan perasaan kamu  dan pikiran pun dapat bekerja dengan lebih baik. Lalu, terakhir ada bagian dry-down yang memiliki kombinasi aroma antara vanilla dan musk. Aroma ini terkesan manis tetapi tidak membosankan. Aromanya lembut dan tidak membuat penggunanya merasa mual.

Secara garis besar, parfum ini tergolong parfum yang wanginya tipis atau samar-samar. Tidak memberi kesan semerbak pada suatu ruangan saat kamu berada di dalamnya. Jika pun tercium, bau itu terkesan ada dan tiada. Sehingga memberi sedikit nuansa penasaran bagi orang-orang di sekitarmu. Sebaliknya, jika kamu memakai parfum ini pada tempat yang tepat (pergelangan tangan, leher, dan sekitar lengan), aroma parfum ini akan tahan lama pada indera penciumanmu ( Tiga sampai dengan lima jam). Selain itu, di titik-titik tempat kamu menyemprotkan parfum tadi, aromanya akan sangat terasa. Sehingga, jika kamu merasa butuh aroma penyemangat, kamu bisa saja sejenak mendekatkan indera penciumanmu pada titik penyemprotanmu tadi.
Oh iya, untuk harganya. Ehem, bagi kantong pelajar dan mahasiswa, mungkin harga parfum ini sedikit membutuhkan perjuangan. Nana membeli parfum yang berukuran 35 ml ini dengan harga Rp 125.000,00. Namun, bagi kamu yang sudah bekerja dan mendapat penghasilan lumayan, harga ini tidak begitu mencekik. Kembali ke pribadi masing-masing. Bukankah mahal dan murah itu relatif?
Yup!  Itu saja yang dapat Nana bagi dalam ulasan pertama ini, jangan bosan sambang di blog ini ya. Nana akan kembali dengan wewangian lainnya. Bisa Eau de Cologne, Eau de Toilette, Eau de Parfum, dan Parfum. Sekali lagi, bagi kamu yang menyukai aroma fresh tetapi juga elegan, kamu patut mencoba ini. Terutama, kamu yang menyukai harum bunga. Okay. See you, Guys! Bye-bye…. 

Senin, 16 Juni 2014

Detektif RND


Detektif RND

          Mata kuliah semantik telah berlalu. Anak-anak mulai beranjak dari bangku mereka. Kutatap wajah kawanku dengan tatapan sedih. Ia menutup buku dan memandang papan tulis di depannya dengan pandangan kosong. Aku dan Rara saling manatap dan mengangkat bahu.
“Di, loe jangan sedih dong,”ucapku lembut sembari mengelus pundak Diana.
“Kenapa Mbeb Didi sedih?”
“Gimana gue nggak sedih, Ra. Giri ngilang selama empat hari. Dia nggak ada kabar sama sekali. Dia juga nggak masuk kuliah karang.”
“Udahlah, loe cari cowok lain aja. Gampang kan? Semua senang.”
“Dasar loe, bukan masalah cari cowok lain ato nggak, Na. Tapi gue penasaran napa Giri bisa ngilang kayak gini. Kita harus nyelidikin semua ini. Gue mau kalian nolong gue dalam hal ini.”
“Imbalannya apa?”
“Hadeh, , , Ra. loe perhitungan banget sama temen.”
“Loh, bukannya gitu, Mbeb Na. Tapi kita kan selalu dikasih imbalan tiap ngejalanin tugas. Kita itu detektif paling keren di kampus. Jadi Mbeb Didi juga harus ngasih imbalan ke kita kalo mau kita ikut dia, hehe.”
“Gampang, gue beliin satu bungkus penyetan buat kalian. Dibagi dua aja ntar, oke? hahaha.”
“Pelit banget lu, Mbeb.”
“Udah, jangan bercanda mulu. Di, emang loe tau rumahnya Giri?”
“Ya tahulah. Dia tinggal di Wiyung sama tantenya. Soalnya ortu dia udah nggak ada. Kalian mau bantu gue kan?”
“Ya pastilah.”
“Kita ngomongin apaan sih?”
“Ampun, Ra! Loe kemana aja sih. Semenit nyaut semenit nggak. Di, tapi jangan lupa imbalannya, hihihi.”
“Dasar loe, Ra. Dari dulu tetep aja lemot. Kita pulang ke kos dulu buat nyiapin segalanya. Nanti jam dua kita intai rumah Giri. Oke?”
“Oke.”
Saat aku dan Diana asik merencanakan pengintaian, Rara malah berjalan mendekati kak Gilang yang sedang duduk manis di seberang kelas. Rara berbasa-basi dan tertawa bersama kak Gilang. Aku yang melihatnya langsung berdiri dan menarik tangan Rara.
“Maaf kak, Rara mau pergi dulu. Udah ditarik sama malaikat pencabut kebahagiaan. Thatha , , ,”
Kak Gilang tertawa dan memandangku. Aku hanya tersenyum dan menunduk malu. Rara langsung kutarik dan kuserahkan pada Diana.
“Rara , , Rara , , loe tu nggak bisa lemot kalo masalah cowok. Tapi yang lain loe nggak bisa diharepin. Ckckckck.”
          Kami bergegas pulang ke tempat kos. Diana menyiapkan alat untuk pengintaian dan penyamaran. Aku menyiapkan mobil yang akan digunakan dan  Rara mendengarkan musik sambil menari tidak jelas di sampingku.
          Namaku Nana. Aku adalah seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Aku memiliki sahabat bernama Diana dan Rara. Kami bersahabat sejak pertama masuk kuliah yaitu, dua tahun yang lalu. Kami tergabung dalam persahabatan yang disebut RND (Rara, Nana, Diana). Namun, semua orang di kampus lebih mengenal kami sebagai detektif RND selama satu setengah tahun terkhir. Karena kami memang mahir dalam hal penyelidikan.
Kami memiliki kelebihan masing masing dalam bertindak. Aku memiliki kemampuan membaca pikiran orang yang aku sentuh. Aku juga memiliki kemampuan handal dalam mengemudikan mobil. Diana berpegang pada kecanggihan zaman. Dia mengurus segala alat yang diperlukan seperti  alat sadap, kamera tersembunyi dan sebagainya. Sedangkan Rara memiliki kemampuan memikat hati laki-laki dengan cepat. Dia memiliki tingkah aneh dan humor yang berlebihan. Namun, ia memiliki keberanian yang luar biasa dibandingkan aku dan Diana.
Di sinilah aku. Bersama dengan kedua sahabatku yang berbeda karakter, tetapi mampu menyeimbangkan segalanya. Untuk berbagi dan saling menyayangi. Mengerjakan segala sesuatu untuk menolong yang lainnya dengan cara kami sendiri.
                                      XXXXXXXXXX    
Aku dan Diana menatap Rara tajam. Rara sebagai terdakwa hanya cengingiran sambil memutar-mutar HPnya. Mobil yang sudah kusiapkan dengan susah payah tidak ada gunanya. Aku merasa sebal dan bingung pada Rara.
“Ra! Tadi kan udah gue bilang. Pompa ban belakang bagian kiri dan periksa mesinnya. Kenapa sekarang mogok?”
“Lu kan udah tahu, Mbeb. Gue nggak bisa periksa mesin. Salah sendiri lu tadi pakek sakit perut.”
“Dasar ni anak, bisanya ngeles aja. Di, karang kita gimana nih?”
“Aku udah telpon bengkel buat ambil mobil ni. Kita naik angkot aja. Ra, loe cari angkot. Gue mau ambil laptop sama alat yang lain.”
“Oke, Mbeb.”
Diana mengambil segala alat yang dibutuhkan. Setelah Rara mendapatkan angkot kami langsung menuju rumah Giri. Di dalam angkot terdapat tiga orang penumpang lain. Seorang nenek berada di samping sopir, seorang anak SMP yang pulang dari sekolah dan seorang laki-laki muda memakai baju koko serta sarung  duduk di sebelahku. Pada awalnya aku merasa nyaman duduk di kursiku. Akan tetapi, pikiranku terusik saat terjadi guncangan dan tanganku bersentuhan dengan tangan pemuda itu. Seketika aku langsung dapat membaca pikiran pemuda itu. Pemuda itu ternyata memikirkan sesuatu yang sangat tidak cocok dipikirkan di dalam angkot. Dia memikirkan sesuatu yang membuat dia tersenyum sendirian. Dia memegang tangan Rara, menciumnya dan  . . .
“Ah! Gue hampir gila karena ini. Loe tu sebenernya apa sih. Penampilan luar kayak cowok alim, ternyata dalemnya mesum. Dasar setan!”teriakku sambil menunjuk pemuda itu. Pemuda itu langsung terkejut dan memandangku dengan tatapan bingung. Rara yang semula ingin memencet bel angkot untuk berhenti langsung menarikku keluar dan tersenyum pada pemuda itu.
“Maaf ya mas, harap maklum. Ni anak baru nemu di kebun binatang. Biasa, arek ilang.”
Rara, aku dan Diana turun dari angkot tepat di depan rumah Giri. Kami bertiga mulai mendekati rumah Giri dan mulai beraksi. Tindakan pertama.
“Ini, loe bawa seperangkat alat make-up dan pulpen. Pake ini juga di telinga loe biar kita bisa komunikasi. Loe pura-pura jadi sales alat kecantikan di rumah Giri. Loe kelabuhi tantenya dan saat loe punya ruang hadepin pulpen ini ke kamar Giri. Kamar Giri ada di kanan ruang tamu. Jangan lupa sebelum itu pencet bagian atas pulpen biar gue bisa lacak dari sini. Kamera ini temuan terbaru gue sama teman gue dari robotika. Dapat nembus ruang dan dapat mengidentifikasi sesuatu yang kita inginkan.”
“Kenapa gue yang selalu jadi kelinci percobaan?”
“Karena loe cewek yang paling pintar ngerayu, Ra. Udah, cepet laksanain tugas loe. Gue ama Diana bakal nunggu loe di sini”
“Iya-iya.”
Rara beranjak dari tempatnya dan mulai memencet bel  rumah Giri. Saat tante Giri muncul Rara langsung tersenyum manis dan berbasa-basi. Tante Giri pun tertarik dan mempersilakan Rara masuk.
“Dasar, anak itu pinter banget kalo masalah beginian.”
“Hahaha, senggaknya dia dapat ngebayar kesalahan mobil tadi, Na.”
Aku dan Diana duduk menunggu Rara memencet pulpen yang diberikan padanya tadi. Beberapa saat kemudian pulpen aktif dan mengarah ke kamar Giri. Diana langsung mengetahui Giri tidak ada di rumah. Karena kameranya tidak menunjukkan keberadaan orang selain tante Giri dan Rara.
“Ra, jangan gerak terus!”
“Iya-iya, Di.”
“Kenapa Giri punya banyak alat make-up di kamarnya ya? Aneh, padahal Giri nggak suka pakek gituan.”
“Mungkin Giri selingkuh, Di. Terus dia dapet alat make-up itu dari selingkuhannya. Selingkuhannya pengen si Giri tambah ganteng.”
Diana menatapku tajam dan memegang dahiku.
“Na, loe udah ketularan Rara ya?”
“Hei, ngapain manggil-manggil nama gue.”
“Nggak apa-apa. Ra, cepet keluar! Kita pergi sekarang.”
“Oke.”
Beberapa menit kemudian Rara langsung keluar dari rumah Giri. Rara tersenyum penuh kebanggaan. Sedangkan aku dan Diana langsung berbisik-bisik untuk menggoda Rara. Mobil Diana telah diperbaiki di bengkel. Kami pun langsung mengambilnya dan pulang untuk merencanakan tindakan berikutnya.
                                      XXXXXXXXXX
Penyelidikan kedua. Rara, aku dan Diana mengintai Giri di depan rumahnya malam ini. Terlihat Giri keluar rumah dan masuk ke sebuah mobil yang parkir di depan rumahnya.
“Sejak kapan Giri punya mobil?”
“Tauk.”
“Sejak kapan Giri jadi ganteng?”
Aku dan Diana serempak menatap Rara dengan tatapan tajam. Rara hanya tersenyum dan menatap kami berdua dengan tatapan tanpa dosa.
“Maaf, Mbeb. Gue oplos, eh polos maksudnya, hehehe”
Aku langsung memutar mobil saat Giri pergi dengan mobil barunya. Giri mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi di jalanan yang padat. Namun, aku  tidak mau kalah dan mengerahkan tenagaku untuk mengikutinya.
Giri menambah kecepatannya dan aku mulai amarah. Aku menaikkan kecepatan sampai 120 dan mendahului mobil Giri. Saat aku mendahului mobil Giri Diana mendongak untuk melemparkan alat micro di pintu depan bagian kiri. Namun, setelah itu Giri juga menambah kecepatan dan melesat pergi.
“Tadi Giri kemana?”
“Ke situ mungkin, Na. Tadi gue liat dia belok di situ.”
Aku menuruti ucapan Rara dan berhenti di depan sebuah gerbang. Kami mulai turun dan berjalan memasuki gerbang. Terlihat sepi dan gelap. Rara terus berjalan dan menyandung sesuatu.
“Wah, makam, Cak.”
“Apa?”
Serempak aku dan Diana terkejut. Kami  saling berpegangan tangan dan menepuk pundak Rara jengkel. Rara malah menatap sekeliling dan berdiri tegak di sampingku. Sedangkan aku dan Diana menatap Rara penuh curiga.
“Nyesel gue nurutin kata-kata loe. Emang nggak pernah bener loe dari dulu. Ayo cepat pergi!”
Kami mulai berbalik. Namun, tiba-tiba seorang kakek muncul di depan kami. aku dan Diana langsung istighfar beberapa kali dan menggenggam tangan Rara kuat-kuat. Sedangkan Rara malah terdiam dan menatap kakek itu lekat-lekat. Kakek itu memakai sarung di pundaknya dan membawa senter.
“Mengapa kalian di sini malam-malam? Nggak takut ta?”
“Kakek siapa?”tanya Rara sembari menatap curiga.
“Aku penjaga makam ini. Lebih baik kalian pergi sekarang. Tidak baik di sini malam-malam.”
“Iya, Kek.”
Kami bertiga mulai beranjak pergi. Namun, saat Rara menoleh kebelakang ternyata kakek itu sudah tidak ada.
“Loh, kok kakek tadi nggak ada sih.”
“Jangan-jangan  , , , “
Aku dan Diana langsung berlari keluar makam. Sedangkan Rara malah berjalan santai sambil bersenandung. Aku langsung gas pol meninggalkan pemakaman itu. Di dalam mobil, aku memarahi Rara habis-habisan. Karena diantara kami bertiga, akulah yang paling tidak menyukai horor. Diana juga mendukungku dalam hal ini. Karena ia yakin seratus persen bahwa yang kami temui tadi adalah hantu. Rara malah bersenandung dan tertawa melihat kami kewalahan.
                                      XXXXXXXX         
Tindakan ketiga. Setelah kami bertemu hantu semalam. Kami tidak bisa tidur dengan nyenyak. Namun, untung saja mata kuliah hari ini dimulai pukul sebelas dan hanya dua jam pelajaran. Sehingga kami bisa tidur dan melanjutkan penyelidikan hari ini.  
Sebelum mata kuliah dimulai kami berkumpul di balkon gedung kampus. kami berdiskusi dan melihat hasil sadapan tadi malam.
“Gue udah nembusin alat gue ke bagian dalam mobil. Sekarang kita tinggal melihat hasilnya lewat laptop.”
Diana langsung mengecek apa yang telah direkam oleh alatnya. Tenyata Giri sedang menjemput wanita lain malam itu. Wanita itu mengajak Giri bermalam di hotel dan melakukan sesuatu yang tidak semestinya di lakukan. Giri pun menerima ajakan wanita itu. Wanita itu pun terdengar mencium Giri dan berkata akan memberikan sesuatu yang lebih dari mobil yang dimiliki Giri sekarang. Diana sangat terkejut saat Giri memanggil wanita itu dengan panggilan ‘Tante Sayang’.
“Wah, pacar loe parah, Di. Dia sama tante girang.”
“Di, jangan dengerin Mbeb Nana. Giri bukan sama tante girang, Mbeb Nana itu sok tahu. Emang loe tahu dari mana, Mbeb?”
Aku menghela napas dan menepuk dahiku. Rara hanya memandangku dengan penuh tanda tanya. Sedangkan Diana langsung beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba terlihat Giri berjalan menaiki tangga gedung yang berseberangan dengan balkon. Giri tersenyum pada Diana dan menghampirinya. Diana hanya terdiam dan menunduk. Aku dan Rara tidak berani ikut campur. Giri mencoba menyentuh pundak Diana. Namun, Diana langsung menghempaskan tangan Giri dan menampar pipi kirinya.
“Loe cowok tahu diri nggak sih? Masih berani nemuin gue.”
“Ya, gue tau semuanya pasti bakal terungkap. Gue tahu apa salah gue sama loe, Di. Tapi gue bisa jelasin semua. Nyokap gue udah meninggal. Bokap pergi dan nikah di Jakarta. Gue nggak punya siapa-siapa selain tante gue. Tante butuh uang untuk ngurus gue. Dia baru aja di PHK. Gue harus ngelakuin kerjaan itu mau nggak mau.”
“Berarti kita harus putus, mau nggak mau!”
“Yank, nggak bisa gitu. Gue sayang banget sama Loe.”
“Gue karang benci banget sama loe. Guys, ayo pergi. Kita bolos aja hari ini.”
 “Tapi mata kuliah hari ini kan apresiasi drama. Gue nggak mau bolos.”
“Hadeh, ratu drama nih. Yadah, nggak jadi bolos low gitu.”
Rara, aku dan Diana berlalu di depan Giri. Giri masih berusaha menggapai tangan Diana. Namun Diana tersenyum dan menghempaskan tangan Giri. Saat kuliah usai kami bertiga langsung menuju kantin.
“Asik, penyelidikan telah selesai. Saatnya Diana ntraktir kita.”
“Enak aja, BDKS!”
“Apa BDKS?”
“Bayar Diri Kalian Sendiri.”
“Pelit!”
Aku dan Rara berteriak serempak di telinga Diana. Diana hanya menggerutu sedangkan aku dan Rara malah tertawa terbahak-bahak. Saat kami bercanda tiba-tiba Andri, anak jurusan SRDG menghampiri kami.
“Guys, bisa bantu gue nggak?”
“Bantu apa?”
“Lukisan gue ilang. Padahal lukisan itu udah menang lomba minggu lalu dan mau dibeli ama seseorang seharga sepuluh juta. Sepertinya pencuri itu warga kampus kita juga. Kalo kalian bisa nemuin lukisan gue sampek minggu depan, kalian akan dapetin sepuluh persen dari penjualannya. Gimana?
Kami bertiga saling menatap dan tertawa bersama.
“Tentu bisa. Loe tinggal kasih info tentang lukisan loe itu.”
“Oke, nanti gue kirim foto lukisan gue lewat e-mail ya? Gue pergi dulu. Gue ada kelas karang.”
“Eh, Ndri. Ehm, kita kan lagi bokek, trus , , ”
“Sssstttt, gue tahu maksud loe, Ra. Nih.”
Andri memberikan selembar uang lima puluh ribuan. Rara yang menerimanya langsung tersenyum dan melambaikan tangannya pada Andri.
“Lunchtime,”seru Rara sambil melambaikan uang dari Andri.
Aku dan Diana hanya tertawa melihat tingkah Rara. Aku senang Diana tidak memikirkan kesedihannya. Meskipun aku tahu dia masih memiliki sedikit rasa sakit yang dibuat oleh Giri. Namun, Diana dapat tertawa bersama kami semua. RND bukan sekedar ikatan persahabatan. Akan tetapi, ikatan sebuah hubungan untuk saling menjaga, menghibur, berbagi cinta dan sebuah keluarga kecil yang bahagia.

SELESAI
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika terdapat kesalahan atau sesuatu yang tidak berkenan saya sebagai penulis minta maaf, Nur Asiyah.