Kamis, 07 Februari 2019

Kakek dan Hutan Kandung



Seikat rumput kuhempaskan di atas lincak. Suara “Krieettt!” terdengar darinya bagai jeritan minta dibenah ulang. Aku setengah tak menghiraukan. Aku mengusap peluh yang bercucuran dan mulai mengambil rumput segenggam untuk makan kelinci.
“Kak Bumi!” Aku menoleh. Terlihat dua bocah berumur 10 tahun berlarian menujuku. Aku pun tersenyum dan mengerti maksud mereka. Kuberesken rumput yang berserakan dan bergegas mengabutkan pakaian agar tidak terlihat usang.
“Kak Bumi, hari ini kami akan mendengar cerita apa?” tanya Zulfa penuh semangat.
“Haduh, maaf ya. Aku lupa tidak mempersiapkan cerita. Bagaimana ini?” jawabku sembari menggaruk kepala yang tak gatal.
“Bohong! Kamu selalu memiliki cerita, Kak Bumi.”
Aku tersenyum. Aku mulai berpindah dari kandang ke teras depan rumah. Mereka pun mengikuti jejakku dengan perasaan senang luar biasa.
“Baiklah, hari ini aku akan menceritakan dongeng yang sangat istimewa,” ucapku mengawali. Sebelum aku meneruskan ucapanku, aku meneguk air dari kendi dan melahap pisang goreng yang telah disediakan Emak.
“Istimewa? Tentang binatang, hantu atau makhluk luar angkasa? Cepat katakan.”
“Hahaha, sabar Zulfa. Ehm, hari ini aku akan menceritakan tentang legenda di desa kita yaitu Legenda Hutan Kandung.”
Zulfa segera merapat pada Anwar. Dia seakan berbisik tetapi aku mampu mendengarnya dengan jelas, “Itu adalah tempat Kak Bumi biasa mencari rumput, kamu tahu, kan?” Anwar pun mengangguk dengan mantap.
“Dahulu kala, pada masa kekuasaan Majapahit, hiduplah seorang adipati yang bernama Adipati Nilosuwarno. Adipati Nilosuwarno memiliki istri yang sangat cantik bernama Rayung Wulan. Suatu ketika, Rayung Wulan sedang mengandung dan mengalami ngidam. Dia menginginkan badher bang sisik kencono yang tingkal di dalam sebuah batang pohon.”
“Apa ada ikan badher yang tinggal di dalam batang pohon, Kak?” tanya Zulfa bingung.
“Tentu saja ada, di masa itu,” jawabku sembari tersenyum. Mereka kembali mendengarkanku dengan penuh perhatian. Bayangkan jika aku bercerita semacam ini pada orang dewasa, mungkin aku akan ditertawakan dan dianggap gila.
“Saat tahu sang istri menginginkan ikan badher, Adipati Nilosuwarno mengerahkan seluruh pasukannya untuk menangkap ikan tersebut. Namun, tidak ada yang bisa menangkapnya. Akhirnya, Adipati Nilosuwarno sendiri yang pergi mencari ikan ditemani seorang patihnya bernama Sengguruh.”
“Mereka mendapatkannya?”
“He, em. Mereka mendapatkannya, Anwar. Tapi, Adipati Nilosuwarno dibunuh oleh pembunuh bayaran saat perjalanan pulang, dan hanya Patih Sengguruh yang selamat.”
“Lalu, apa yang terjadi setelah itu?”
“Hhhmmm… bagaimana ya. Ternyata, Patih Sengguruh menyukai Rayung Wulan. Dia ingin Rayung Wulan menjadi istrinya.”
“Jangan-jangan Nilosuwarno dibunuh oleh Sengguruh, Kak Bumi. Bukan pembunuh bayaran.” Aku tersenyum sembari mengangguk. Penalaran yang cepat sekaligus tepat untuk anak seumur mereka.
“Saat itu, Rayung Wulan tidak ingin diperistri Sengguruh yang telah naik tahta menjadi Adipati ke-II. Dia melarikan diri ke sebuah gunung di sisi utara yaitu Gunung Pegat. Di sana dia melahirkan seorang anak yang diberi nama Jaka Kandung. Anak tersebut ia rawat hingga umur tujuh tahun. Setelah itu, Jaka Kandung menimba ilmu di sebuah padepokan di Kediri yang bernama Padepokan Sentono Gedhong. Jaka Kandung tinggal di sana sampai umur 18 tahun.”
“Bagaimana dengan ibunya?”
“Ibunya tetap tinggal di Gunung Pegat. Namun, tahun ketiga selama Jaka Kandung berpisah dengan ibunya, sang ibu tertangkap oleh para pengawal. Dia dibawa ke kadipaten dan dipaksa menikah dengan Sengguruh. Dari pernikahan tersebut, dia memiliki anak bernama Jaka Plontang.”
“Apa Jaka Plontang mirip dengan Jaka Kandung, Kak Bumi?”
Aku menggelengkan kepala perlahan. “Jaka Plontang sangat sombong. Dia suka menindas rakyat dan menghambur-hamburkan uang milik ayahnya. Sementara Jaka Kandung bersifat rendah hati dan sangat menyayangi ibunya. Dia belajar bela diri dengan sungguh-sungguh agar dapat membebaskan ibunya dari cengkeraman Sengguruh. Saat berumur 19 tahun, Jaka Kandung datang ke kadipaten. Dia bertarung dengan para pengawal dan menang dalam sekejap. Sebenarnya dia hanya ingin membebaskan ibunya. Akan tetapi, Sengguruh dan Jaka Plontang berusaha mencelakai Jaka Kandung. Alhasil, dengan berat hati Jaka Kandung menutup usia mereka berdua.”
“Kak Bumi, aku sedih mendengar kematian mereka. Tapi Jaka Kandung juga tidak bersalah,” ujar Zulfa dengan wajah murung. Aku beringsut padanya dan mengusap kerudungnya perlahan.
“Setelah semua kejadian itu, Rayung Wulan kembali ke Gunung Pegat. Dia tidak mau menumpang hidup pada anaknya. Jaka Kandung merasa sedih, tetapi itulah keinginan ibunya. Sementara itu, Jaka Kandung mulai tinggal di Hutan Kandung, hutan yang ada di desa kita ini. Dulu, dia bekerja sebagai seorang petani.”
“Kenapa dia menjadi petani? Dia kan anaknya adipati?”
“Kerajaan Majapahit sudah menawarkan kedudukan adipati pada Jaka Kandung, Anwar. Tetapi dia tidak mau. Dia lebih memilih menjadi petani. Kalian tahu, Gunung Pegat dan Alas Kandung memiliki kedudukan yang lurus. Sehingga, jika Jaka Kandung berada di puncak, dia bisa melihat sang ibu secara langsung.”
“Jaka Kandung sangat menyayangi ibunya, ya?”
“He, em. Kalian juga harus sayang pada ibu kalian ya.”
“Tentu saja, Kak Bumi. Ibu adalah segalanya. Oh iya, ini jam berapa, Kak?”
“Jam setengah lima, Anwar.”
“Coba dengar, sebentar lagi ibu akan berteriak memanggilku,” ujar Anwar cengar-cengir. Belum sampai semenit Anwar berucap, suara ibu Anwar yang memanggil anaknya terdengar dari seberang rumah. Anwar dan Zulfa pun berpamitan. Seperti biasa, mereka berterima kasih atas cerita yang kuberikan.
Keadaan mulai hening. Aku masih betah duduk di dipan dan menyesap minumku kembali.
“Bumi.”
Suara parau itu tidak asing. Tentu saja, seseorang telah datang. Dia berperawakan sedang dengan bahu yang tegap. Pakaian kaos putih, celana hitam selutut, sarung yang tersampir di samping kanan, dan caping gunung adalah ciri khasnya. Kuakrabi kedatangannya. Saat itulah aku menunduk.
Sugeng sonten, Mbah Jaka.” Perlahan dia menyejajarkan posisi. Dia mengusap jenggotnya yang berwarna suci. Aku pun mengikuti, mengusap jenggotku yang masih legam dan tak samar sama sekali. Dia adalah Jaka Kandung, kakek buyutku.
TAMAT



Biodata Penulis
Nur Asiyah, biasa disapa dengan nama pena Nana Shina lahir di Tulungagung, 6 Januari 1996. Dia pernah kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya. Setelah itu, dia menyalurkan ilmunya sebagai mahasiswa pendidikan dengan bekerja di sebuah sekolah dasar dan SMA yang ada di Tulungagung. Selain memiliki minat di bidang pendidikan, dia juga tertarik pada bidang kepenulisan terutama sastra. Karya pertamanya yakni novel yang berjudul PARFUM: Long Distance Relationship Part 1&2 (2018). Disusul karya selanjutnya yakni novel Bersenyawa Denganmu (2019).
Saat ini, dia memiliki hobi yang cukup banyak di antaranya membaca, menulis, mengoleksi parfum dan menanam bunga. Di hari-hari biasa, dia memakai minyak wangi beraroma bunga dan buah. Namun, saat mendekati hari ulang tahunnya, dia sering sakit hingga dia malas memakai minyak wangi dan lebih membutuhkan minyak kayu putih plus minyak kapak. Media sosial Instagram @nana_shina96. Salam literasi.



Catatan: Pertama, dilarang keras meng-copy dan menjiplak karya. Hargai karya orang lain, maka karyamu pun akan dihargai oleh lainnya. Kedua, cerita ini memiliki unsur nonfiksi (cerita tentang Adipati, sang istri dan Jaka Kandung) sekaligus fiksi (Bumi, Zulfa, dan Anwar). Semoga pembaca dapat memilah dengan baik. Terima kasih. ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar