Seikat rumput kuhempaskan
di atas lincak. Suara “Krieettt!” terdengar darinya bagai jeritan minta dibenah
ulang. Aku setengah tak menghiraukan. Aku mengusap peluh yang bercucuran dan
mulai mengambil rumput segenggam untuk makan kelinci.
“Kak Bumi!” Aku menoleh.
Terlihat dua bocah berumur 10 tahun berlarian menujuku. Aku pun tersenyum dan
mengerti maksud mereka. Kuberesken rumput yang berserakan dan bergegas
mengabutkan pakaian agar tidak terlihat usang.
“Kak Bumi, hari ini kami
akan mendengar cerita apa?” tanya Zulfa penuh semangat.
“Haduh, maaf ya. Aku lupa
tidak mempersiapkan cerita. Bagaimana ini?” jawabku sembari menggaruk kepala
yang tak gatal.
“Bohong! Kamu selalu memiliki
cerita, Kak Bumi.”
Aku tersenyum. Aku mulai
berpindah dari kandang ke teras depan rumah. Mereka pun mengikuti jejakku
dengan perasaan senang luar biasa.
“Baiklah, hari ini aku
akan menceritakan dongeng yang sangat istimewa,” ucapku mengawali. Sebelum aku
meneruskan ucapanku, aku meneguk air dari kendi dan melahap pisang goreng yang
telah disediakan Emak.
“Istimewa? Tentang
binatang, hantu atau makhluk luar angkasa? Cepat katakan.”
“Hahaha, sabar Zulfa. Ehm,
hari ini aku akan menceritakan tentang legenda di desa kita yaitu Legenda Hutan
Kandung.”
Zulfa segera merapat pada
Anwar. Dia seakan berbisik tetapi aku mampu mendengarnya dengan jelas, “Itu
adalah tempat Kak Bumi biasa mencari rumput, kamu tahu, kan?” Anwar pun
mengangguk dengan mantap.
“Dahulu kala, pada masa
kekuasaan Majapahit, hiduplah seorang adipati yang bernama Adipati Nilosuwarno.
Adipati Nilosuwarno memiliki istri yang sangat cantik bernama Rayung Wulan.
Suatu ketika, Rayung Wulan sedang mengandung dan mengalami ngidam. Dia
menginginkan badher bang sisik kencono
yang tingkal di dalam sebuah batang pohon.”
“Apa ada ikan badher yang tinggal di dalam batang
pohon, Kak?” tanya Zulfa bingung.
“Tentu saja ada, di masa
itu,” jawabku sembari tersenyum. Mereka kembali mendengarkanku dengan penuh
perhatian. Bayangkan jika aku bercerita semacam ini pada orang dewasa, mungkin
aku akan ditertawakan dan dianggap gila.
“Saat tahu sang istri
menginginkan ikan badher, Adipati
Nilosuwarno mengerahkan seluruh pasukannya untuk menangkap ikan tersebut.
Namun, tidak ada yang bisa menangkapnya. Akhirnya, Adipati Nilosuwarno sendiri
yang pergi mencari ikan ditemani seorang patihnya bernama Sengguruh.”
“Mereka mendapatkannya?”
“He, em. Mereka
mendapatkannya, Anwar. Tapi, Adipati Nilosuwarno dibunuh oleh pembunuh bayaran
saat perjalanan pulang, dan hanya Patih Sengguruh yang selamat.”
“Lalu, apa yang terjadi
setelah itu?”
“Hhhmmm… bagaimana ya.
Ternyata, Patih Sengguruh menyukai Rayung Wulan. Dia ingin Rayung Wulan menjadi
istrinya.”
“Jangan-jangan
Nilosuwarno dibunuh oleh Sengguruh, Kak Bumi. Bukan pembunuh bayaran.” Aku
tersenyum sembari mengangguk. Penalaran yang cepat sekaligus tepat untuk anak
seumur mereka.
“Saat itu, Rayung Wulan
tidak ingin diperistri Sengguruh yang telah naik tahta menjadi Adipati ke-II. Dia
melarikan diri ke sebuah gunung di sisi utara yaitu Gunung Pegat. Di sana dia
melahirkan seorang anak yang diberi nama Jaka Kandung. Anak tersebut ia rawat
hingga umur tujuh tahun. Setelah itu, Jaka Kandung menimba ilmu di sebuah
padepokan di Kediri yang bernama Padepokan Sentono Gedhong. Jaka Kandung
tinggal di sana sampai umur 18 tahun.”
“Bagaimana dengan
ibunya?”
“Ibunya tetap tinggal di
Gunung Pegat. Namun, tahun ketiga selama Jaka Kandung berpisah dengan ibunya,
sang ibu tertangkap oleh para pengawal. Dia dibawa ke kadipaten dan dipaksa
menikah dengan Sengguruh. Dari pernikahan tersebut, dia memiliki anak bernama
Jaka Plontang.”
“Apa Jaka Plontang mirip
dengan Jaka Kandung, Kak Bumi?”
Aku menggelengkan kepala
perlahan. “Jaka Plontang sangat sombong. Dia suka menindas rakyat dan menghambur-hamburkan
uang milik ayahnya. Sementara Jaka Kandung bersifat rendah hati dan sangat
menyayangi ibunya. Dia belajar bela diri dengan sungguh-sungguh agar dapat
membebaskan ibunya dari cengkeraman Sengguruh. Saat berumur 19 tahun, Jaka
Kandung datang ke kadipaten. Dia bertarung dengan para pengawal dan menang
dalam sekejap. Sebenarnya dia hanya ingin membebaskan ibunya. Akan tetapi,
Sengguruh dan Jaka Plontang berusaha mencelakai Jaka Kandung. Alhasil, dengan
berat hati Jaka Kandung menutup usia mereka berdua.”
“Kak Bumi, aku sedih
mendengar kematian mereka. Tapi Jaka Kandung juga tidak bersalah,” ujar Zulfa
dengan wajah murung. Aku beringsut padanya dan mengusap kerudungnya perlahan.
“Setelah semua kejadian
itu, Rayung Wulan kembali ke Gunung Pegat. Dia tidak mau menumpang hidup pada
anaknya. Jaka Kandung merasa sedih, tetapi itulah keinginan ibunya. Sementara
itu, Jaka Kandung mulai tinggal di Hutan Kandung, hutan yang ada di desa kita ini.
Dulu, dia bekerja sebagai seorang petani.”
“Kenapa dia menjadi
petani? Dia kan anaknya adipati?”
“Kerajaan Majapahit sudah
menawarkan kedudukan adipati pada Jaka Kandung, Anwar. Tetapi dia tidak mau.
Dia lebih memilih menjadi petani. Kalian tahu, Gunung Pegat dan Alas Kandung
memiliki kedudukan yang lurus. Sehingga, jika Jaka Kandung berada di puncak,
dia bisa melihat sang ibu secara langsung.”
“Jaka Kandung sangat
menyayangi ibunya, ya?”
“He, em. Kalian juga
harus sayang pada ibu kalian ya.”
“Tentu saja, Kak Bumi. Ibu
adalah segalanya. Oh iya, ini jam berapa, Kak?”
“Jam setengah lima,
Anwar.”
“Coba dengar, sebentar
lagi ibu akan berteriak memanggilku,” ujar Anwar cengar-cengir. Belum sampai
semenit Anwar berucap, suara ibu Anwar yang memanggil anaknya terdengar dari
seberang rumah. Anwar dan Zulfa pun berpamitan. Seperti biasa, mereka berterima
kasih atas cerita yang kuberikan.
Keadaan mulai hening. Aku
masih betah duduk di dipan dan menyesap minumku kembali.
“Bumi.”
Suara parau itu tidak
asing. Tentu saja, seseorang telah datang. Dia berperawakan sedang dengan bahu
yang tegap. Pakaian kaos putih, celana hitam selutut, sarung yang tersampir di
samping kanan, dan caping gunung adalah ciri khasnya. Kuakrabi kedatangannya.
Saat itulah aku menunduk.
“Sugeng sonten, Mbah Jaka.” Perlahan dia menyejajarkan posisi. Dia mengusap
jenggotnya yang berwarna suci. Aku pun mengikuti, mengusap jenggotku yang masih
legam dan tak samar sama sekali. Dia adalah Jaka Kandung, kakek buyutku.
TAMAT
Biodata Penulis
Nur Asiyah, biasa disapa
dengan nama pena Nana Shina lahir di Tulungagung, 6 Januari 1996. Dia pernah
kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya.
Setelah itu, dia menyalurkan ilmunya sebagai mahasiswa pendidikan dengan
bekerja di sebuah sekolah dasar dan SMA yang ada di Tulungagung. Selain memiliki
minat di bidang pendidikan, dia juga tertarik pada bidang kepenulisan terutama
sastra. Karya pertamanya yakni novel yang berjudul PARFUM: Long Distance Relationship Part 1&2 (2018). Disusul karya
selanjutnya yakni novel Bersenyawa Denganmu (2019).
Saat ini, dia memiliki
hobi yang cukup banyak di antaranya membaca, menulis, mengoleksi parfum dan
menanam bunga. Di hari-hari biasa, dia memakai minyak wangi beraroma bunga dan
buah. Namun, saat mendekati hari ulang tahunnya, dia sering sakit hingga dia
malas memakai minyak wangi dan lebih membutuhkan minyak kayu putih plus minyak kapak. Media sosial
Instagram @nana_shina96. Salam literasi.
Catatan: Pertama, dilarang keras meng-copy dan menjiplak karya. Hargai karya orang lain, maka karyamu pun akan dihargai oleh lainnya. Kedua, cerita ini memiliki unsur nonfiksi (cerita tentang Adipati, sang istri dan Jaka Kandung) sekaligus fiksi (Bumi, Zulfa, dan Anwar). Semoga pembaca dapat memilah dengan baik. Terima kasih. ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar