Lavendel, Kamu, dan Uang
Nur Asiyah
Gelas gemerincing dalam tarian kaca.
Sesekali berpapasan dengan piring dan mangkuk raksasa. Sendok tak turut. Benda
itu sudah duduk manis bersama garpu di lubang temaram. Seorang wanita melenggang
di jalan sempit. Dia menurunkan kopi hitam dan kue lapis. Selain itu, ada
senyum madu yang ia urai untuk orang-orang di sekitarnya.
“Ndri, tidak pesan kopi?” tanya Tatang
seusai membelai punggung tangan si gadis kopi.
“Nanti dulu, Tang. Mau ambil topi di
truk. Kelupaan.”
“Halah! Topi saja dipikirkan.
Nanti-nanti juga bisa,” gerutu Tatang.
“Ah, bukan begitu. Biar kuambil
sekarang.”
Landri buru-buru menjauh dari MERONA. Sebuah
warung singgah yang dibangun persis di pinggir kota. Bukan apa-apa, diyakini
warung tersebut menyimpan puluhan mutiara. Siapa yang tak suka. Sopir truk
banyak yang mampir, bukan hanya makan dan menyesap kopi. Namun, melepas lelah
dan ciuman pula.
Jarak tempat makan dan parkir truk
cukup menyiksa sandal. Alas kaki milik Landri yang peyot sudah meronta minta
diganti. Bukan masalah bikin dia terpeleset dan celaka, tapi si pemilik lebih
sayang istri. Beli beras, minyak, gula, dan ayam. Itu-itu saja yang dipikirkan.
Sandal? Tidak masuk dalam daftar pembelian.
“Gimana? Topimu tidak dimaling orang,
kan?”
“Mana mau, Tang. Seperti tidak ada yang
lain saja.”
“Lha, terus kenapa kamu sampai nyusul
topimu di truk tadi?”
“Ingin saja. Kurang enak kalau tidak
pakai topi.”
“Ckckck… topi murah saja
disayang-sayang, Ndri… Ndri....”
Landri tak membalas. Meskipun darah
mulai naik ke ubun-ubun, dia sudah kebal dengan omongan sahabatnya satu itu. Tatang
sibuk memutar-mutar gelas buram. Dilihat lebih dalam, kopi dan gula tidak
tercampur sempurna. Gula banyak yang mengendap di bawah, tapi lelaki itu tak menolak
asal Antin yang buat.
Antin, satu diantara banyak mutiara
yang terkungkung dalam MERONA. Wanita itu betah menemani Tatang selama lelaki
itu menyisipkan uang. Jika dompet sedang sekarat, wanita itu akan beringsut
pada Bayu atau Mamad, sopir truk kayu yang uangnya tak pernah tandas.
“Landri, apa kamu juga merasa setoran
dari Haji Muklis semakin sedikit?”
“Iya. Padahal bahan pangan mulai naik.
Tapi pendapatanku bulan ini malah turun, Tang. Ditambah istriku minta minyak
lavendel lagi. Katanya di rumah sudah habis.”
“Buat apa istrimu minta minyak lavendel
terus? Setiap aku mampir ke warungmu, cuma bau soto ayam dan sambal pecel saja
yang tercium.”
“Siapa juga yang mau menaruh wewangian
di warung sederhana, Tang. Ratih itu pintar, dia memakainya di dalam kamar.
Jadi cukup dia dan aku saja yang membauinya. Sesekali Laras juga masuk kamar.
Anak semata wayangku itu juga menyukainya.”
“Ck… tahu dari mana kalau cuma Ratih
dan Laras yang masuk kamar? Bisa saja Ratih mengundang orang lain saat kamu
tidak di rumah.”
Landri menatap tajam. Bagai serigala
yang digerogoti insting membunuh. Dia siap menyalak Tatang. Tapi semua runtuh
saat pikiran jernihnya kembali. Terakhir berseteru dengan Tatang, dia mengalami
masa yang cukup sulit. Meskipun penampilan Landri dan Tatang semacam sebelas
dua belas, tapi Tatang adalah senior di bidangnya. Landri tidak ingin
terjungkal untuk kedua kalinya. Dia menghela napas dan mencari jawaban
seadanya.
“Ratih itu bukan Endang, Tang. Jangan disamakan.”
Tatang tersenyum kecut. Istri lelaki
itu memang sudah terkenal jeleknya. Saat sang suami bekerja, dia malah menuntun
lelaki lain untuk tinggal bersama. Tidak ada yang patut dibanggakan. Anak
Tatang pun sedih ber-ibu-kan seorang Endang. Ditambah Tatang yang jarang di
rumah, entah bagaimana keadaan si anak.
“Ndri, dua hari lalu aku mampir ke toko
untuk beli titipan Haji Romlah. Si Dendi bilang harga minyak bunga naik. Jika
begini, kamu masih mau membelikan keinginan istrimu itu?”
“Mau tidak mau, Tang. Istriku dari dulu
tidak minat minta yang aneh-aneh. Ya satu itu, dia meminta minyak lavendel
setiap dua bulan. Sudah bagus dia tidak minta alat racik baru padaku. Dia tetap
pakai lilin lamanya.”
“Harusnya istrimu itu banyak uang,
Ndri. Dia jualan makanan tiap hari. Aku saja makan di tempatmu kalau tidak
kerja begini. Uang hasil jualan itu dikemanakan?” tanya Tatang disusul suapan
kue lapis ke mulut.
“Ditabung, Tang. Buat biaya sekolah
Laras. Selama ini anakku itu tidak minta apapun padaku. Dia selalu minta
ibunya. Beli tas, sepatu, buku, iuran kelas, semuanya.”
“Lalu, si ibu giliran minta padamu
begitu? Ndri… Ndri… kamu itu terlalu baik. Kamu harus sadar pekerjaanmu itu apa.
Jangan cuma pikir rumah tanggamu. Sudah
dua tahun tapi tidak paham juga. Coba lihat
kanan-kiri.”
Landri tak patuh. Dia malah membenahi
topinya yang sedikit miring. Lagi-lagi Tatang tersenyum. Bukan merasa terhina,
tapi merasa perlu berusaha agar Landri ikut arusnya.
“Siang ini, dari sepuluh sopir truk
yang singgah di MERONA cuma kamu sama Pak Ketut yang malas nggoda wanita.
Lainnya, pasti sudah cengengesan dan
manja-manjaan. Nah, kamu jangan terlalu sayang sama istri. Toh, dia tidak
bersamamu tiap hari.”
Siapa bilang Landri terlalu sayang
istri? Lelaki itu sering hanyut dalam jebakan Rukma. Tapi tak sampai mengecup
kening wanita itu, Landri telah membuka topinya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dua wanita
mendekat dengan nampan berisi kopi dan makanan. Harum gulai kepala ikan dan
nasi hangat membumbung mesra. Landri berkali-kali menarik napas untuk menjerat
aroma. Di sisi lain, Tatang tak peduli. Lelaki itu menilik hal tersendiri.
Antin, wanita pujaan hati itu mulai mengibaskan rambutnya untuk tebar pesona.
“Ini makanannya, Bang Tatang.”
Tatang mengangguk cepat. Lelaki itu
segera menarik tangan Antin untuk mendekat padanya.
“Ini kopimu, Mas Landri.”
Landri mengangguk tanpa menatap si
pelayan.
“Ndri, lihat, si Rukma makin cantik
sekarang. Kamu yakin tidak mau dengannya?”
Kali ini Landri benar-benar tertarik.
Bukan masalah goda-menggoda. Tapi lebih dari itu. Wanita itu mulai memiliki
kemiripan yang sangat dengan Ratih. Bukan rona wajah, apalagi tingkah.
“Kenapa akhir-akhir ini kamu bau
lavendel, Rukma?”
Si tertuduh tertawa manja. Semu merah
jambu di pipinya kian nyata. Setelah meletakkan pesanan dengan benar, wanita
itu bersandar mesra pada Landri. Landri diam, tidak menolak, tidak menerima. Rukma
memainkan sejumput kemeja kusut milik Landri. Sesekali wanita itu menerawang
wajah sang kekasih.
“Tatang bilang kamu suka bau bunga
ungu. Jadi aku membelinya agar bisa lebih dekat denganmu. Tidak perlu
membayarku hari ini. Tapi coba perhatikan aku. Setelah dirasa cocok, baru
keluarkan uangmu untukku esok hari.”
Landri gugup. Wanita di sisinya semakin
menempel. Tatang turut mendukung. Antin tertawa-tawa melihat Landri yang
dilema. Setiap minggu Landri mampir dan Rukma yang selalu menyuguh kopi. Sudah
dua tahun dan dia masih betah menggoda. Landri kadang juga berpikir alangkah
baiknya jika dia memiliki Rukma.
Rukma itu menawan. Cukup menakjubkan
wanita itu mengejar-ngejar Landri yang pas-pasan. Masih banyak sopir truk yang
berdompet tebal, tapi malah dia acuhkan. Jika pun Landri terpikat, uang sebesar
apa yang ia dapat? Paling besar pasti lima puluh ribu. Coba sopir lain, pasti
dua ratus ribu bisa dia kantongi dengan mudah.
“Ndri! Ngelamun saja kamu! Itu loh
ditawari Rukma. Gratis!” Tatang mencoba kompor.
“Bagaimana, Mas Landri. Aku sudah
memakai wewangian kesukaanmu. Kurang apa lagi?”
Landri acuh tak acuh. Rukma yang
mengamati semakin bersikeras memikat. Wanita itu tersenyum-senyum. Ditambah dia
memijati pundak lelaki itu perlahan. Mirip sekali dengan pijatan Ratih pada
Landri sepulang kerja. Lelaki itu benar-benar dalam bahaya sekarang.
“Hahhh!” teriak Landri tiba-tiba.
Antin, Rukma, dan Tatang berjingkat. Mereka terkejut dengan reaksi Lantri yang
tak terduga.
“Kamu itu ngomong apa, Rukma!
Menawariku? Buat apa! Di rumah saja aku punya bau semacam ini. Sembilan tahun
aku menciuminya. Apa di sini aku harus menerimamu juga? Lagi pula bau di rumah
masih lebih bagus daripada kamu. Dasar!” gerutu Landri keras.
Rukma disingkirkan dengan kasar. Landri
membawa kopinya menjauh dari meja Tatang. Lelaki itu menarik sebatang rokok
dari sakunya. Dia main-mainkan lalu dibuang. Sudah kena tanah, tapi dipungut
lagi. Dimasukkan saku dan tangan berganti ke topi. Diraih selembar kertas warna
kecokelatan. Diciumnya dengan sayang.
“Ada untungnya aku menetesi kertas
kelobot ini, Ratih. Semoga harummu tetap mengiringi rezekiku. Hah, ada apa
dengan si Rukma? Aku sungguh kesal dibuatnya.”
Topi dibuka lagi. Kertas kecokelatan
tadi kembali bersarang di sela-sela penutup kepala. Dipandanginya topi
tersayang. Warna biru tua itu telah luntur, ditambah ada robek di bagian
ubun-ubun.
Landri menghela napas. Dia menyesap
kopinya perlahan dan merasa lebih tenang. Tak berapa lama, dilihatnya sebuah
truk bermuatan pakan ikan mendekat. Turunlah seorang lelaki paruh baya yang
masih mencuatkan sifat beringas. Selayak permen tanpa bungkus, lelaki itu langsung
disambut beberapa penggoda.
Lelaki itu tertawa nyaring. Kecupan
mesranya ditempel pada satu penggoda ke penggoda lain Siapa sangka, lelaki
paruh baya itu adalah kakak sulung Ratih. Sama saja dengan lainnya. Saat
melintas di depan Landri, lelaki itu semakin merekahkan tawanya. Dia, bahagia.
SELESAI
Nur
Asiyah, lebih dikenal dengan nama Nana Shina (nama pena) lahir di Tulungagung,
6 Januari 1996. Dia mengenyam pendidikan tinggi di Surabaya dan kembali ke
Tulungagung pada tahun 2017. Saat ini berprofesi menjadi guru di sebuah SMA
swasta. Dia memiliki hobi mengoleksi parfum dan buku bacaan. Saat ini, pembaca
dapat berinteraksi dengannya melalui media sosial Instagram @nana_shina96.
Catatan : Pertama, penulis meminta maaf jika ada kata yang
tidak berkenan. Kedua, dilarang meng-copy
atau menjiplak karya dari blog ini. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar