Jumat, 08 Februari 2019

CERPEN


Lavendel, Kamu, dan Uang

Nur Asiyah



Gelas gemerincing dalam tarian kaca. Sesekali berpapasan dengan piring dan mangkuk raksasa. Sendok tak turut. Benda itu sudah duduk manis bersama garpu di lubang temaram. Seorang wanita melenggang di jalan sempit. Dia menurunkan kopi hitam dan kue lapis. Selain itu, ada senyum madu yang ia urai untuk orang-orang di sekitarnya.
“Ndri, tidak pesan kopi?” tanya Tatang seusai membelai punggung tangan si gadis kopi.
“Nanti dulu, Tang. Mau ambil topi di truk. Kelupaan.”
“Halah! Topi saja dipikirkan. Nanti-nanti juga bisa,” gerutu Tatang.
“Ah, bukan begitu. Biar kuambil sekarang.”
Landri buru-buru menjauh dari MERONA. Sebuah warung singgah yang dibangun persis di pinggir kota. Bukan apa-apa, diyakini warung tersebut menyimpan puluhan mutiara. Siapa yang tak suka. Sopir truk banyak yang mampir, bukan hanya makan dan menyesap kopi. Namun, melepas lelah dan ciuman pula.
Jarak tempat makan dan parkir truk cukup menyiksa sandal. Alas kaki milik Landri yang peyot sudah meronta minta diganti. Bukan masalah bikin dia terpeleset dan celaka, tapi si pemilik lebih sayang istri. Beli beras, minyak, gula, dan ayam. Itu-itu saja yang dipikirkan. Sandal? Tidak masuk dalam daftar pembelian.
“Gimana? Topimu tidak dimaling orang, kan?”
“Mana mau, Tang. Seperti tidak ada yang lain saja.”
“Lha, terus kenapa kamu sampai nyusul topimu di truk tadi?”
“Ingin saja. Kurang enak kalau tidak pakai topi.”
“Ckckck… topi murah saja disayang-sayang, Ndri… Ndri....”
Landri tak membalas. Meskipun darah mulai naik ke ubun-ubun, dia sudah kebal dengan omongan sahabatnya satu itu. Tatang sibuk memutar-mutar gelas buram. Dilihat lebih dalam, kopi dan gula tidak tercampur sempurna. Gula banyak yang mengendap di bawah, tapi lelaki itu tak menolak asal Antin yang buat.
Antin, satu diantara banyak mutiara yang terkungkung dalam MERONA. Wanita itu betah menemani Tatang selama lelaki itu menyisipkan uang. Jika dompet sedang sekarat, wanita itu akan beringsut pada Bayu atau Mamad, sopir truk kayu yang uangnya tak pernah tandas.
“Landri, apa kamu juga merasa setoran dari Haji Muklis semakin sedikit?”
“Iya. Padahal bahan pangan mulai naik. Tapi pendapatanku bulan ini malah turun, Tang. Ditambah istriku minta minyak lavendel lagi. Katanya di rumah sudah habis.”
“Buat apa istrimu minta minyak lavendel terus? Setiap aku mampir ke warungmu, cuma bau soto ayam dan sambal pecel saja yang tercium.”
“Siapa juga yang mau menaruh wewangian di warung sederhana, Tang. Ratih itu pintar, dia memakainya di dalam kamar. Jadi cukup dia dan aku saja yang membauinya. Sesekali Laras juga masuk kamar. Anak semata wayangku itu juga menyukainya.”
“Ck… tahu dari mana kalau cuma Ratih dan Laras yang masuk kamar? Bisa saja Ratih mengundang orang lain saat kamu tidak di rumah.”
Landri menatap tajam. Bagai serigala yang digerogoti insting membunuh. Dia siap menyalak Tatang. Tapi semua runtuh saat pikiran jernihnya kembali. Terakhir berseteru dengan Tatang, dia mengalami masa yang cukup sulit. Meskipun penampilan Landri dan Tatang semacam sebelas dua belas, tapi Tatang adalah senior di bidangnya. Landri tidak ingin terjungkal untuk kedua kalinya. Dia menghela napas dan mencari jawaban seadanya.
“Ratih itu bukan Endang, Tang. Jangan disamakan.”
Tatang tersenyum kecut. Istri lelaki itu memang sudah terkenal jeleknya. Saat sang suami bekerja, dia malah menuntun lelaki lain untuk tinggal bersama. Tidak ada yang patut dibanggakan. Anak Tatang pun sedih ber-ibu-kan seorang Endang. Ditambah Tatang yang jarang di rumah, entah bagaimana keadaan si anak.
“Ndri, dua hari lalu aku mampir ke toko untuk beli titipan Haji Romlah. Si Dendi bilang harga minyak bunga naik. Jika begini, kamu masih mau membelikan keinginan istrimu itu?”
“Mau tidak mau, Tang. Istriku dari dulu tidak minat minta yang aneh-aneh. Ya satu itu, dia meminta minyak lavendel setiap dua bulan. Sudah bagus dia tidak minta alat racik baru padaku. Dia tetap pakai lilin lamanya.”
“Harusnya istrimu itu banyak uang, Ndri. Dia jualan makanan tiap hari. Aku saja makan di tempatmu kalau tidak kerja begini. Uang hasil jualan itu dikemanakan?” tanya Tatang disusul suapan kue lapis ke mulut.
“Ditabung, Tang. Buat biaya sekolah Laras. Selama ini anakku itu tidak minta apapun padaku. Dia selalu minta ibunya. Beli tas, sepatu, buku, iuran kelas, semuanya.”
“Lalu, si ibu giliran minta padamu begitu? Ndri… Ndri… kamu itu terlalu baik. Kamu harus sadar pekerjaanmu itu apa. Jangan cuma pikir rumah tanggamu.  Sudah dua tahun tapi tidak paham juga.  Coba lihat kanan-kiri.”
Landri tak patuh. Dia malah membenahi topinya yang sedikit miring. Lagi-lagi Tatang tersenyum. Bukan merasa terhina, tapi merasa perlu berusaha agar Landri ikut arusnya.
“Siang ini, dari sepuluh sopir truk yang singgah di MERONA cuma kamu sama Pak Ketut yang malas nggoda wanita. Lainnya, pasti sudah cengengesan dan manja-manjaan. Nah, kamu jangan terlalu sayang sama istri. Toh, dia tidak bersamamu tiap hari.”
Siapa bilang Landri terlalu sayang istri? Lelaki itu sering hanyut dalam jebakan Rukma. Tapi tak sampai mengecup kening wanita itu, Landri telah membuka topinya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dua wanita mendekat dengan nampan berisi kopi dan makanan. Harum gulai kepala ikan dan nasi hangat membumbung mesra. Landri berkali-kali menarik napas untuk menjerat aroma. Di sisi lain, Tatang tak peduli. Lelaki itu menilik hal tersendiri. Antin, wanita pujaan hati itu mulai mengibaskan rambutnya untuk tebar pesona.
“Ini makanannya, Bang Tatang.”
Tatang mengangguk cepat. Lelaki itu segera menarik tangan Antin untuk mendekat padanya.
“Ini kopimu, Mas Landri.”
Landri mengangguk tanpa menatap si pelayan.
“Ndri, lihat, si Rukma makin cantik sekarang. Kamu yakin tidak mau dengannya?”
Kali ini Landri benar-benar tertarik. Bukan masalah goda-menggoda. Tapi lebih dari itu. Wanita itu mulai memiliki kemiripan yang sangat dengan Ratih. Bukan rona wajah, apalagi tingkah.
“Kenapa akhir-akhir ini kamu bau lavendel, Rukma?”
Si tertuduh tertawa manja. Semu merah jambu di pipinya kian nyata. Setelah meletakkan pesanan dengan benar, wanita itu bersandar mesra pada Landri. Landri diam, tidak menolak, tidak menerima. Rukma memainkan sejumput kemeja kusut milik Landri. Sesekali wanita itu menerawang wajah sang kekasih.
“Tatang bilang kamu suka bau bunga ungu. Jadi aku membelinya agar bisa lebih dekat denganmu. Tidak perlu membayarku hari ini. Tapi coba perhatikan aku. Setelah dirasa cocok, baru keluarkan uangmu untukku esok hari.”
Landri gugup. Wanita di sisinya semakin menempel. Tatang turut mendukung. Antin tertawa-tawa melihat Landri yang dilema. Setiap minggu Landri mampir dan Rukma yang selalu menyuguh kopi. Sudah dua tahun dan dia masih betah menggoda. Landri kadang juga berpikir alangkah baiknya jika dia memiliki Rukma.
Rukma itu menawan. Cukup menakjubkan wanita itu mengejar-ngejar Landri yang pas-pasan. Masih banyak sopir truk yang berdompet tebal, tapi malah dia acuhkan. Jika pun Landri terpikat, uang sebesar apa yang ia dapat? Paling besar pasti lima puluh ribu. Coba sopir lain, pasti dua ratus ribu bisa dia kantongi dengan mudah.
“Ndri! Ngelamun saja kamu! Itu loh ditawari Rukma. Gratis!” Tatang mencoba kompor.
“Bagaimana, Mas Landri. Aku sudah memakai wewangian kesukaanmu. Kurang apa lagi?”
Landri acuh tak acuh. Rukma yang mengamati semakin bersikeras memikat. Wanita itu tersenyum-senyum. Ditambah dia memijati pundak lelaki itu perlahan. Mirip sekali dengan pijatan Ratih pada Landri sepulang kerja. Lelaki itu benar-benar dalam bahaya sekarang.
“Hahhh!” teriak Landri tiba-tiba. Antin, Rukma, dan Tatang berjingkat. Mereka terkejut dengan reaksi Lantri yang tak terduga.
“Kamu itu ngomong apa, Rukma! Menawariku? Buat apa! Di rumah saja aku punya bau semacam ini. Sembilan tahun aku menciuminya. Apa di sini aku harus menerimamu juga? Lagi pula bau di rumah masih lebih bagus daripada kamu. Dasar!” gerutu Landri keras.
Rukma disingkirkan dengan kasar. Landri membawa kopinya menjauh dari meja Tatang. Lelaki itu menarik sebatang rokok dari sakunya. Dia main-mainkan lalu dibuang. Sudah kena tanah, tapi dipungut lagi. Dimasukkan saku dan tangan berganti ke topi. Diraih selembar kertas warna kecokelatan. Diciumnya dengan sayang.
“Ada untungnya aku menetesi kertas kelobot ini, Ratih. Semoga harummu tetap mengiringi rezekiku. Hah, ada apa dengan si Rukma? Aku sungguh kesal dibuatnya.”
Topi dibuka lagi. Kertas kecokelatan tadi kembali bersarang di sela-sela penutup kepala. Dipandanginya topi tersayang. Warna biru tua itu telah luntur, ditambah ada robek di bagian ubun-ubun.
Landri menghela napas. Dia menyesap kopinya perlahan dan merasa lebih tenang. Tak berapa lama, dilihatnya sebuah truk bermuatan pakan ikan mendekat. Turunlah seorang lelaki paruh baya yang masih mencuatkan sifat beringas. Selayak permen tanpa bungkus, lelaki itu langsung disambut beberapa penggoda.
Lelaki itu tertawa nyaring. Kecupan mesranya ditempel pada satu penggoda ke penggoda lain Siapa sangka, lelaki paruh baya itu adalah kakak sulung Ratih. Sama saja dengan lainnya. Saat melintas di depan Landri, lelaki itu semakin merekahkan tawanya. Dia, bahagia.

SELESAI


Nur Asiyah, lebih dikenal dengan nama Nana Shina (nama pena) lahir di Tulungagung, 6 Januari 1996. Dia mengenyam pendidikan tinggi di Surabaya dan kembali ke Tulungagung pada tahun 2017. Saat ini berprofesi menjadi guru di sebuah SMA swasta. Dia memiliki hobi mengoleksi parfum dan buku bacaan. Saat ini, pembaca dapat berinteraksi dengannya melalui media sosial Instagram @nana_shina96.

Catatan : Pertama, penulis meminta maaf jika ada kata yang tidak berkenan. Kedua, dilarang meng-copy atau menjiplak karya dari blog ini. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar