Senin, 16 Juni 2014

Detektif RND


Detektif RND

          Mata kuliah semantik telah berlalu. Anak-anak mulai beranjak dari bangku mereka. Kutatap wajah kawanku dengan tatapan sedih. Ia menutup buku dan memandang papan tulis di depannya dengan pandangan kosong. Aku dan Rara saling manatap dan mengangkat bahu.
“Di, loe jangan sedih dong,”ucapku lembut sembari mengelus pundak Diana.
“Kenapa Mbeb Didi sedih?”
“Gimana gue nggak sedih, Ra. Giri ngilang selama empat hari. Dia nggak ada kabar sama sekali. Dia juga nggak masuk kuliah karang.”
“Udahlah, loe cari cowok lain aja. Gampang kan? Semua senang.”
“Dasar loe, bukan masalah cari cowok lain ato nggak, Na. Tapi gue penasaran napa Giri bisa ngilang kayak gini. Kita harus nyelidikin semua ini. Gue mau kalian nolong gue dalam hal ini.”
“Imbalannya apa?”
“Hadeh, , , Ra. loe perhitungan banget sama temen.”
“Loh, bukannya gitu, Mbeb Na. Tapi kita kan selalu dikasih imbalan tiap ngejalanin tugas. Kita itu detektif paling keren di kampus. Jadi Mbeb Didi juga harus ngasih imbalan ke kita kalo mau kita ikut dia, hehe.”
“Gampang, gue beliin satu bungkus penyetan buat kalian. Dibagi dua aja ntar, oke? hahaha.”
“Pelit banget lu, Mbeb.”
“Udah, jangan bercanda mulu. Di, emang loe tau rumahnya Giri?”
“Ya tahulah. Dia tinggal di Wiyung sama tantenya. Soalnya ortu dia udah nggak ada. Kalian mau bantu gue kan?”
“Ya pastilah.”
“Kita ngomongin apaan sih?”
“Ampun, Ra! Loe kemana aja sih. Semenit nyaut semenit nggak. Di, tapi jangan lupa imbalannya, hihihi.”
“Dasar loe, Ra. Dari dulu tetep aja lemot. Kita pulang ke kos dulu buat nyiapin segalanya. Nanti jam dua kita intai rumah Giri. Oke?”
“Oke.”
Saat aku dan Diana asik merencanakan pengintaian, Rara malah berjalan mendekati kak Gilang yang sedang duduk manis di seberang kelas. Rara berbasa-basi dan tertawa bersama kak Gilang. Aku yang melihatnya langsung berdiri dan menarik tangan Rara.
“Maaf kak, Rara mau pergi dulu. Udah ditarik sama malaikat pencabut kebahagiaan. Thatha , , ,”
Kak Gilang tertawa dan memandangku. Aku hanya tersenyum dan menunduk malu. Rara langsung kutarik dan kuserahkan pada Diana.
“Rara , , Rara , , loe tu nggak bisa lemot kalo masalah cowok. Tapi yang lain loe nggak bisa diharepin. Ckckckck.”
          Kami bergegas pulang ke tempat kos. Diana menyiapkan alat untuk pengintaian dan penyamaran. Aku menyiapkan mobil yang akan digunakan dan  Rara mendengarkan musik sambil menari tidak jelas di sampingku.
          Namaku Nana. Aku adalah seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Aku memiliki sahabat bernama Diana dan Rara. Kami bersahabat sejak pertama masuk kuliah yaitu, dua tahun yang lalu. Kami tergabung dalam persahabatan yang disebut RND (Rara, Nana, Diana). Namun, semua orang di kampus lebih mengenal kami sebagai detektif RND selama satu setengah tahun terkhir. Karena kami memang mahir dalam hal penyelidikan.
Kami memiliki kelebihan masing masing dalam bertindak. Aku memiliki kemampuan membaca pikiran orang yang aku sentuh. Aku juga memiliki kemampuan handal dalam mengemudikan mobil. Diana berpegang pada kecanggihan zaman. Dia mengurus segala alat yang diperlukan seperti  alat sadap, kamera tersembunyi dan sebagainya. Sedangkan Rara memiliki kemampuan memikat hati laki-laki dengan cepat. Dia memiliki tingkah aneh dan humor yang berlebihan. Namun, ia memiliki keberanian yang luar biasa dibandingkan aku dan Diana.
Di sinilah aku. Bersama dengan kedua sahabatku yang berbeda karakter, tetapi mampu menyeimbangkan segalanya. Untuk berbagi dan saling menyayangi. Mengerjakan segala sesuatu untuk menolong yang lainnya dengan cara kami sendiri.
                                      XXXXXXXXXX    
Aku dan Diana menatap Rara tajam. Rara sebagai terdakwa hanya cengingiran sambil memutar-mutar HPnya. Mobil yang sudah kusiapkan dengan susah payah tidak ada gunanya. Aku merasa sebal dan bingung pada Rara.
“Ra! Tadi kan udah gue bilang. Pompa ban belakang bagian kiri dan periksa mesinnya. Kenapa sekarang mogok?”
“Lu kan udah tahu, Mbeb. Gue nggak bisa periksa mesin. Salah sendiri lu tadi pakek sakit perut.”
“Dasar ni anak, bisanya ngeles aja. Di, karang kita gimana nih?”
“Aku udah telpon bengkel buat ambil mobil ni. Kita naik angkot aja. Ra, loe cari angkot. Gue mau ambil laptop sama alat yang lain.”
“Oke, Mbeb.”
Diana mengambil segala alat yang dibutuhkan. Setelah Rara mendapatkan angkot kami langsung menuju rumah Giri. Di dalam angkot terdapat tiga orang penumpang lain. Seorang nenek berada di samping sopir, seorang anak SMP yang pulang dari sekolah dan seorang laki-laki muda memakai baju koko serta sarung  duduk di sebelahku. Pada awalnya aku merasa nyaman duduk di kursiku. Akan tetapi, pikiranku terusik saat terjadi guncangan dan tanganku bersentuhan dengan tangan pemuda itu. Seketika aku langsung dapat membaca pikiran pemuda itu. Pemuda itu ternyata memikirkan sesuatu yang sangat tidak cocok dipikirkan di dalam angkot. Dia memikirkan sesuatu yang membuat dia tersenyum sendirian. Dia memegang tangan Rara, menciumnya dan  . . .
“Ah! Gue hampir gila karena ini. Loe tu sebenernya apa sih. Penampilan luar kayak cowok alim, ternyata dalemnya mesum. Dasar setan!”teriakku sambil menunjuk pemuda itu. Pemuda itu langsung terkejut dan memandangku dengan tatapan bingung. Rara yang semula ingin memencet bel angkot untuk berhenti langsung menarikku keluar dan tersenyum pada pemuda itu.
“Maaf ya mas, harap maklum. Ni anak baru nemu di kebun binatang. Biasa, arek ilang.”
Rara, aku dan Diana turun dari angkot tepat di depan rumah Giri. Kami bertiga mulai mendekati rumah Giri dan mulai beraksi. Tindakan pertama.
“Ini, loe bawa seperangkat alat make-up dan pulpen. Pake ini juga di telinga loe biar kita bisa komunikasi. Loe pura-pura jadi sales alat kecantikan di rumah Giri. Loe kelabuhi tantenya dan saat loe punya ruang hadepin pulpen ini ke kamar Giri. Kamar Giri ada di kanan ruang tamu. Jangan lupa sebelum itu pencet bagian atas pulpen biar gue bisa lacak dari sini. Kamera ini temuan terbaru gue sama teman gue dari robotika. Dapat nembus ruang dan dapat mengidentifikasi sesuatu yang kita inginkan.”
“Kenapa gue yang selalu jadi kelinci percobaan?”
“Karena loe cewek yang paling pintar ngerayu, Ra. Udah, cepet laksanain tugas loe. Gue ama Diana bakal nunggu loe di sini”
“Iya-iya.”
Rara beranjak dari tempatnya dan mulai memencet bel  rumah Giri. Saat tante Giri muncul Rara langsung tersenyum manis dan berbasa-basi. Tante Giri pun tertarik dan mempersilakan Rara masuk.
“Dasar, anak itu pinter banget kalo masalah beginian.”
“Hahaha, senggaknya dia dapat ngebayar kesalahan mobil tadi, Na.”
Aku dan Diana duduk menunggu Rara memencet pulpen yang diberikan padanya tadi. Beberapa saat kemudian pulpen aktif dan mengarah ke kamar Giri. Diana langsung mengetahui Giri tidak ada di rumah. Karena kameranya tidak menunjukkan keberadaan orang selain tante Giri dan Rara.
“Ra, jangan gerak terus!”
“Iya-iya, Di.”
“Kenapa Giri punya banyak alat make-up di kamarnya ya? Aneh, padahal Giri nggak suka pakek gituan.”
“Mungkin Giri selingkuh, Di. Terus dia dapet alat make-up itu dari selingkuhannya. Selingkuhannya pengen si Giri tambah ganteng.”
Diana menatapku tajam dan memegang dahiku.
“Na, loe udah ketularan Rara ya?”
“Hei, ngapain manggil-manggil nama gue.”
“Nggak apa-apa. Ra, cepet keluar! Kita pergi sekarang.”
“Oke.”
Beberapa menit kemudian Rara langsung keluar dari rumah Giri. Rara tersenyum penuh kebanggaan. Sedangkan aku dan Diana langsung berbisik-bisik untuk menggoda Rara. Mobil Diana telah diperbaiki di bengkel. Kami pun langsung mengambilnya dan pulang untuk merencanakan tindakan berikutnya.
                                      XXXXXXXXXX
Penyelidikan kedua. Rara, aku dan Diana mengintai Giri di depan rumahnya malam ini. Terlihat Giri keluar rumah dan masuk ke sebuah mobil yang parkir di depan rumahnya.
“Sejak kapan Giri punya mobil?”
“Tauk.”
“Sejak kapan Giri jadi ganteng?”
Aku dan Diana serempak menatap Rara dengan tatapan tajam. Rara hanya tersenyum dan menatap kami berdua dengan tatapan tanpa dosa.
“Maaf, Mbeb. Gue oplos, eh polos maksudnya, hehehe”
Aku langsung memutar mobil saat Giri pergi dengan mobil barunya. Giri mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi di jalanan yang padat. Namun, aku  tidak mau kalah dan mengerahkan tenagaku untuk mengikutinya.
Giri menambah kecepatannya dan aku mulai amarah. Aku menaikkan kecepatan sampai 120 dan mendahului mobil Giri. Saat aku mendahului mobil Giri Diana mendongak untuk melemparkan alat micro di pintu depan bagian kiri. Namun, setelah itu Giri juga menambah kecepatan dan melesat pergi.
“Tadi Giri kemana?”
“Ke situ mungkin, Na. Tadi gue liat dia belok di situ.”
Aku menuruti ucapan Rara dan berhenti di depan sebuah gerbang. Kami mulai turun dan berjalan memasuki gerbang. Terlihat sepi dan gelap. Rara terus berjalan dan menyandung sesuatu.
“Wah, makam, Cak.”
“Apa?”
Serempak aku dan Diana terkejut. Kami  saling berpegangan tangan dan menepuk pundak Rara jengkel. Rara malah menatap sekeliling dan berdiri tegak di sampingku. Sedangkan aku dan Diana menatap Rara penuh curiga.
“Nyesel gue nurutin kata-kata loe. Emang nggak pernah bener loe dari dulu. Ayo cepat pergi!”
Kami mulai berbalik. Namun, tiba-tiba seorang kakek muncul di depan kami. aku dan Diana langsung istighfar beberapa kali dan menggenggam tangan Rara kuat-kuat. Sedangkan Rara malah terdiam dan menatap kakek itu lekat-lekat. Kakek itu memakai sarung di pundaknya dan membawa senter.
“Mengapa kalian di sini malam-malam? Nggak takut ta?”
“Kakek siapa?”tanya Rara sembari menatap curiga.
“Aku penjaga makam ini. Lebih baik kalian pergi sekarang. Tidak baik di sini malam-malam.”
“Iya, Kek.”
Kami bertiga mulai beranjak pergi. Namun, saat Rara menoleh kebelakang ternyata kakek itu sudah tidak ada.
“Loh, kok kakek tadi nggak ada sih.”
“Jangan-jangan  , , , “
Aku dan Diana langsung berlari keluar makam. Sedangkan Rara malah berjalan santai sambil bersenandung. Aku langsung gas pol meninggalkan pemakaman itu. Di dalam mobil, aku memarahi Rara habis-habisan. Karena diantara kami bertiga, akulah yang paling tidak menyukai horor. Diana juga mendukungku dalam hal ini. Karena ia yakin seratus persen bahwa yang kami temui tadi adalah hantu. Rara malah bersenandung dan tertawa melihat kami kewalahan.
                                      XXXXXXXX         
Tindakan ketiga. Setelah kami bertemu hantu semalam. Kami tidak bisa tidur dengan nyenyak. Namun, untung saja mata kuliah hari ini dimulai pukul sebelas dan hanya dua jam pelajaran. Sehingga kami bisa tidur dan melanjutkan penyelidikan hari ini.  
Sebelum mata kuliah dimulai kami berkumpul di balkon gedung kampus. kami berdiskusi dan melihat hasil sadapan tadi malam.
“Gue udah nembusin alat gue ke bagian dalam mobil. Sekarang kita tinggal melihat hasilnya lewat laptop.”
Diana langsung mengecek apa yang telah direkam oleh alatnya. Tenyata Giri sedang menjemput wanita lain malam itu. Wanita itu mengajak Giri bermalam di hotel dan melakukan sesuatu yang tidak semestinya di lakukan. Giri pun menerima ajakan wanita itu. Wanita itu pun terdengar mencium Giri dan berkata akan memberikan sesuatu yang lebih dari mobil yang dimiliki Giri sekarang. Diana sangat terkejut saat Giri memanggil wanita itu dengan panggilan ‘Tante Sayang’.
“Wah, pacar loe parah, Di. Dia sama tante girang.”
“Di, jangan dengerin Mbeb Nana. Giri bukan sama tante girang, Mbeb Nana itu sok tahu. Emang loe tahu dari mana, Mbeb?”
Aku menghela napas dan menepuk dahiku. Rara hanya memandangku dengan penuh tanda tanya. Sedangkan Diana langsung beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba terlihat Giri berjalan menaiki tangga gedung yang berseberangan dengan balkon. Giri tersenyum pada Diana dan menghampirinya. Diana hanya terdiam dan menunduk. Aku dan Rara tidak berani ikut campur. Giri mencoba menyentuh pundak Diana. Namun, Diana langsung menghempaskan tangan Giri dan menampar pipi kirinya.
“Loe cowok tahu diri nggak sih? Masih berani nemuin gue.”
“Ya, gue tau semuanya pasti bakal terungkap. Gue tahu apa salah gue sama loe, Di. Tapi gue bisa jelasin semua. Nyokap gue udah meninggal. Bokap pergi dan nikah di Jakarta. Gue nggak punya siapa-siapa selain tante gue. Tante butuh uang untuk ngurus gue. Dia baru aja di PHK. Gue harus ngelakuin kerjaan itu mau nggak mau.”
“Berarti kita harus putus, mau nggak mau!”
“Yank, nggak bisa gitu. Gue sayang banget sama Loe.”
“Gue karang benci banget sama loe. Guys, ayo pergi. Kita bolos aja hari ini.”
 “Tapi mata kuliah hari ini kan apresiasi drama. Gue nggak mau bolos.”
“Hadeh, ratu drama nih. Yadah, nggak jadi bolos low gitu.”
Rara, aku dan Diana berlalu di depan Giri. Giri masih berusaha menggapai tangan Diana. Namun Diana tersenyum dan menghempaskan tangan Giri. Saat kuliah usai kami bertiga langsung menuju kantin.
“Asik, penyelidikan telah selesai. Saatnya Diana ntraktir kita.”
“Enak aja, BDKS!”
“Apa BDKS?”
“Bayar Diri Kalian Sendiri.”
“Pelit!”
Aku dan Rara berteriak serempak di telinga Diana. Diana hanya menggerutu sedangkan aku dan Rara malah tertawa terbahak-bahak. Saat kami bercanda tiba-tiba Andri, anak jurusan SRDG menghampiri kami.
“Guys, bisa bantu gue nggak?”
“Bantu apa?”
“Lukisan gue ilang. Padahal lukisan itu udah menang lomba minggu lalu dan mau dibeli ama seseorang seharga sepuluh juta. Sepertinya pencuri itu warga kampus kita juga. Kalo kalian bisa nemuin lukisan gue sampek minggu depan, kalian akan dapetin sepuluh persen dari penjualannya. Gimana?
Kami bertiga saling menatap dan tertawa bersama.
“Tentu bisa. Loe tinggal kasih info tentang lukisan loe itu.”
“Oke, nanti gue kirim foto lukisan gue lewat e-mail ya? Gue pergi dulu. Gue ada kelas karang.”
“Eh, Ndri. Ehm, kita kan lagi bokek, trus , , ”
“Sssstttt, gue tahu maksud loe, Ra. Nih.”
Andri memberikan selembar uang lima puluh ribuan. Rara yang menerimanya langsung tersenyum dan melambaikan tangannya pada Andri.
“Lunchtime,”seru Rara sambil melambaikan uang dari Andri.
Aku dan Diana hanya tertawa melihat tingkah Rara. Aku senang Diana tidak memikirkan kesedihannya. Meskipun aku tahu dia masih memiliki sedikit rasa sakit yang dibuat oleh Giri. Namun, Diana dapat tertawa bersama kami semua. RND bukan sekedar ikatan persahabatan. Akan tetapi, ikatan sebuah hubungan untuk saling menjaga, menghibur, berbagi cinta dan sebuah keluarga kecil yang bahagia.

SELESAI
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika terdapat kesalahan atau sesuatu yang tidak berkenan saya sebagai penulis minta maaf, Nur Asiyah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar